Dalam konsepsi islam terdapat kata ijtihad yang mana mengandung makna mencurahkan segala kemampuan atau pemikiran untuk mencari solusi masalah. Dimana dengan ijtihad tersebut akan membawa umat menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Dikarenakan seorang mujtahid pembawa panji keilmuan yang bergerak dalam pemikiran dan pemahaman ajaran-ajaran Allah yang diturunkan dalam Al Quran baik yang terdapat didalamnya maupun tidak.
Sesungguhnya ijtihadlah yang membuat syariat menjadi subur dan kaya serta memberinya kemampuan untuk memegang kendali ke arah jalan yang di ridhoi Allah SWT dengan tidak melebihi batas-batas hukumnya ataupun mengabaikan hak-haknya manusia, yang demikian benar-benar memenuhi syarat dan dilakukan oleh para ahli serta pada tempatnya.
Para ulama mujtahid melakukan ijtihad dengan metode-metode yang berlainan, begitu juga salah satu ulama yang bernama KH.Sahal Mahfud metode-metodenya lah yang akan secara rinci penulis bahas dalam makalah ini.
Pembahasan
A.pengertian ijtihad
Ijtihad dalam bahasa arab berasal dari kata “ jahada “ yang artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan, merupakan bentuk kata yang mengikuti wazan “ iftafngaala ” menunjukan arti kata yang berlebih atau (mubalghah) dalam perbuatan.
B. Syarat-syarat mujtahid
Seseorang yang telah menggeluti dalam bidang fiqih tidak bisa sampai ke tinggkat mujtahid kecuali dengan memenuhi beberapa syarat-syarat yang telah di sepakati yaitu :
1. Mengetahui Al Quran karim
AL Quran adalah merupakan kitab suci pedoman bagi umat islam dan sekaligus merupakan sumber utama syariat dan ajarannya dan karena itu seorang mujtahid harus mengetahuai Al Quran secara mendalam, karena seseorang yang belum mengetahui Al Quran secara mendalam berarti belumlah ia mengerti benar syariat islam dan lebih rinci lagi seorang mujtahid hendaknya memiliki pengetahuan secara global tentang arti Al Quran secara menyeluruh dan mengarahkan perhatiannya secara khusus terhadap ayat ayat yang berhubungan dengan hukum.
2. Mengetahui asbab an nuzul ayat-ayat Al Quran
Syarat yang kedua mencapai tingkatan mujtahid yaitu mengetahui sebab-sebab turunnya ayat Al Quran dalam memahaminya merupakan jalan satu syarat mengetahui Al Quran karena, dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat member jalan terang untuk memahami magsud teks Al Quran.
3. Mengetahui nasikh dan mansukh.
4. Mengetahui As Sunnah.
5. Mengetahui ilmu Diriyah Hadits.
6. Mengetahui hadits yang di Nasikh Dan Mansukh.
7. Mengtahui sebab Wurud Hadits
8. Mengetahui bahasa arab.
C. Ijtihad dalam pandangan K.H Sahal Mahfudz
a.Biografi
K.H Sahal Mahfudz lahir pada 17-12-1937 di Kajen Pati Jawa Tengah.
- Riwayat pendidikan ( non formal )
Pon-pes Kediri ( K.H muhajir )
Pon-pes Sarang (K.H zubair )
Pon-pes Kajen (K.H. Abdullah Salam )
- Ilmu ilmu yang di pelajari
Ilmu kemasyrakatan
Ilmu ushul fiqih
Ilmu bahasa arab
- Organisasi
Sebagai Rois Amm Syuriah pengurus besar NU (1999-2009)
Ketua MUI masa bakti 2000-2010
Rois Amm syuriah PBNU pengasuh ponpes maslakhul Huda sejak th 1963 Margoyo Pati Jawa Tengah.
b. Metode Ijtihad KH. Sahal Mahfudz
1. Berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah
Al Quran merupkan sebuah sumber baku dari segala hukum begitu juga assunah yang berkedudukan sebagai penerjemah tingkat pertama Al Quran karena dalam fiqih hampir tidak terdapat suatu hukum pun yang permanen kecuali ia di gali dari dalil-dalil yang disepakati. Padahal dalil dalil semacam ini yang di istilahkan sebagai yang qath`i jumlahnya sangat terbatas sehingga dalam pembentukan hukum tidak terlepas dari Al Quran dan As Sunnah. Para ulam menentukan suatu hukum pun tidak hanya terpaku pada Al Quran di karenakan Al Quran sendiri tidak seuruhnya merupakan petunjuk hukum, karna ia memuat hal-hal lain seperti sejarah dan nasehat moral, karena itu perkembangan masalah yang melingkupi kehidupan manusia setelah periode Rasulluloh SAW di tentukan hukumnya berdasarkan kedua sumber itu ( Al Quran dan Assunah) dengan mengacu pada rumusan muqashid al asyariah (tujuan tujuan syariah.
2. Ijtihad sebagai kebutuhan
Sebagai jembatan penghubung kesenjangan waktu antara kejadian sekarang dengan turunnya wahyu lembaga ijtihad bukanlah suatu yang hanya boleh di fungsikan, tetapi merupakan suatu kebutuhan, bagi umat islam. Ijtihad adalah suatu kebutuhan dasar[1]. Bukan saja ketika nabi sudah tiada tetapi bahkan ketika nabi masih hidup. Dalam riwayat Muadz Bin Jabal sebagai buktinya bahwasanya nabi masih tidak hanya mengizinkan tetapi menyambut dengan gembira campur haru mendengar tekad Muadz untuk berijtihad, dalam hal-hal yang tidak diperoleh ketentuannya secara jelas dalam Al Quran atauAl Hadits, apabila pada masa nabi saja ijtihad sudah bisa dilakukan maka sepeninggal beliau pun telah jauh lebih mungkin dan di perlukan, karena dikalangan islam manapun tidak ada perintah sungguh-sungguh menyatakan ijtihad itu haram, dan harus
berkesimpulan pada periode (asr) harus ada orang atau beberapa orang yang mampu berperan sebagai mujtahid.
Di kalangan ahli fiqih, ijtihad merupakan terminologi yang berjenjang, ada yang di golongkan ijtihad mutlak ada pula yang di golongkan ijtihad muqoyad atau muntazib, yang di hindari, dalam kitab all rad ala mad afsadd fi al ard, as suyuti dengan tandas pertama dalah ijtihadnya seorang ulama dalam bidang fiqih, bukan saja menggali hukum baru, tetapi juga memakai metode baru hasil pemikiran orisinil, diantara tingkat ijtihad para peletak madzhab yang ada pada masa-masa pertumbuhan fiqih sekitar abad 2-3 H. Jumlanya mencapai belasan namun karena seleksi sejarah yang diikuti hanyalah 4, yaitu : Abu Hanfifah (peletak madzhab hanafi ), Malik Bin Annas (Peletak Madzhab Maliki),Muhammad Bin Idris Asyafii (Peletak Madzhab Syafii), Ahmad Bin Hambal (Peletak Madzhab Hambali).
Dalam pembahasan ijtihad muqoyyad atau muntazib adalah ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian hukum (Istinbath Al Ahkam) dengan piranti atau metode yang dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Misalnya dalam lingkup mazhab syafii kita mengenal nama- nama seperti Al Nawawi, Al Rafii atau Imam Haramain mereka adalah segolongan orang yang telah melakukan fungsi itu dengan otoritas yang diakui ( mutamad), tetapi metode (manhaj ) yang digunakan adalah manhaj syafi`i, dan begitu pula imam Abu Yusuf dalam lingkungan Madzhab Hanafi dan sebagainya, madzhab tidak lain adalah metode penggalian hukum, bukan hukum yang di hasilkan dengan metode itu sendiri.
3. Kaidah kaidah pengambilan hukum
Kaidah-kaidah pengambilan hukum yang diciptakan ulama dahulu masih bisa di terapkan sebagai metode hingga sekarang. Sifat kaidah-kaidah tersebut adalah aglabiah (berlaku secara umum, general) hingga ada perkecualian yang tidak bisa di selesekan oleh kaidah kaidah yang tidak berlakau secara aglabiah yang tidak memadai lagi. Kasus-kasus yang di kecualikan lebih banya dari pada yang bisa di cakupnya.
Satu kaidah dalam ushul fiqih yang dikatakan membuat fiqih yang secara kontekstual adalah : al ibrah bi umum al lafdhi la bil khusus al sabab yang di terjemahkan “ yang menjadi perhatian di dalam menetapkan hukum fiqih adalah rumusan : (tekstual) satu dalil, bukan sebab yang melatar belakangi turunnya ketentuan (dalil).
4. Ijtihad dari segi fikih kontekstual
Istilah pembaharuan fiqih sebenarnya kurang tepat, karena selama ini kaidah kaidah dalam ushul fiqih maupun qawaid al fiqhoyah sebagai perangkat menggali fikih sampai saat ini tetap relevan tidak perlu diganti aatau mungkin yang lebih tepat adalah pengembangan fiqih melalui kaidah-kaidah menuju fiqih kontekstual.
Kegiatan semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad dalam pegertian istilahi, melainkan ijtihad dalam pengertian bahasa.
5. Fiqih kontekstual dalam pandangan K.H Sahal Mahfudz
Melihat dari devinisi ijtihad yang menerangkan tentang bagaimana untuk mengistimbatkhn hukum syar `i[2]. Secara maksimal yang berkaitan dengan perbuatan manusia secara langsung dari dalail tafshili ( yang terinci ) Al Quran dan Al Hadits bahwasanya sangat berkaitan bila di pahami dari sudut pandang fiqih kontekstual, K.H Sahal Mahfudz berpendapat bahwa asumsi formalistik terhadap fiqih masih menjadi masalah laten, sehinggga tidak jarang dalam hal ini kitab kuning, di anggap sebagai kitab suci ke dua setelah Al Quran yang harus di berlakukan sebagai norma dogmatis dan tidak bisa di ganggu gugat, karena itu menggali fiqih yang bernuansa sosial adalah sangat urgen
6.Berprinsip pada maslahah amanah
Islam yang menyebutkan sebagai rahmatan lil alamin maupun kafatan li al nas, sungguhnya adalah kebanggaan yang melahirkan beban berat, sebab kedua kalimah itu akan memberi pengertian bahwa islam adalah ajaran yang universal. Disinilah beban itu muncul sebab dengan itu semua ia harus beradaptasi dengan seluruh umat manusia yang sangat beragam baik karena perbedaan geografis maupun kebudanyaanya sehingga dalam pemahaman syariah secara kontekstual (muqtada al hal) salah satu rangkaian kegiatan ijtihad, sedang kontekstual ini memerlukan kemampuan membaca perkembangan sosial. Kemampuan seperti ini memang ditegaskan dalam syarat-syarat formal seorang mujtahid, namun K.H Sahal Mahfudz sangat mengutamakan kemaslahatan (kepentingan masyrakat)[3]
Kesimpulan
§ Bahwasanya dalam pandangan KH. Sahal Mahfudz, ijtihad adalah sesuatu yang sangat di perlukan dan sebagai suatu kebutuhan, bukan suatu yang diharamkan di karenakan pada zaman nabi ijtihad sudah ada dan sekalipun dalam Al Quran tidaka di temukan bahwa hukum ijtihad adalah haram.
§ Bila membandingkan metode pengambilan hukum antara kyai Sahal Mahfudz dengan imam syafi`i sangatlah berbedakarena metode imam syafi`i lebih condong kepada metode qiyas ( analogo ), karena menurut belia maslahat sudah terkumpul pada illat, tetapi hukum yang ihasilakan melalui qiyas tidak boleh tergantung pada maslahat yang tidak tegas rumusan maupun ukurannya. Sedang sahal mahfudz lebih condong kepada kaidah kaidah pengambilan hukum yang di ciptakan ulama yaitu aghlabiah ( berlaku secara umum, global atau general ).
§ Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqih sosial didasarkan atas keyakinan bahwa fiqih harus di baca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan primer ( dharuruyah) fiqih sosial bukan sekedar Qias untuk melihat setiap persoalan dari kaca mata hitam putih sebagaiman cara pandang fiqih yang lazim di temukan, tetapi fiqih sosial lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma pemaknaan secara sosial.
§ Secara rinci metode ijtihad KH. Sahal Mahfudz dapat di rumuskan
§ : Q + S + I + M
Daftar pustaka
Mahfudz Sahal. Nuansa Fikih Social. Yogya : LkiS. 1994
Rofiq Ahmad. Fikih Kontekstual. Semarang : LKiS 2004.
0 comments
Posting Komentar