ETOS KERJA
(Tafsir Al-Qur’an Surat Ar-Rad (13) ayat 11
dan Hadits Riwayat Muslim)
Oleh: Desnas Artanti
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
I. Pendahuluan
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) artinya sikap kepribadian, watak. Sikap ini bukan saja dimiliki individu tetapi juga kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh kebiasaan, pengaruh budaya serta sistem nilai yang diyakini.
Makna kerja, bagi seorang muslim adalah upaya sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset pikirnya, dzikir untuk mengaktualisasikan diri.
Pada surat Ar-Rad (13) ayat 11, berisikan bagaimana perubahan dalam kehidupan manusia adalah realitas yang sama sekali berbeda dengan perubahan alam, ketika alam mengalami proses dinamikanya dengan sunnatullah, ketentuan yang sudah diatur Allah, maka perubahan kehidupan manusia membutuhkan peran dan usaha manusia sendiri.
Sebuah situai kemanusiaan tidak akan berubah kecuali ketika manusia itu melakukan dan mengusahakan perubahan. Karena nasib manusia tidak akan berubah kecuali manusia itu berusaha untuk mengubahnya.
Namun masih banyak orang yang tidak menyadari kemampuan yang telah Allah berikan, sehingga beranggapan bahwa mereka telah melakukan usaha namun tidak optimal.
Padahal etos kerja bagi seorang muslim, merupakan nilai dengan kebiasaan positif dalam bentuk hasil kerja, serta sikap dan perilaku yang menuju atau mengarah kepada hasil yang sempurna.
II. Pembahasan
a. Makna Mufrodat
×M»t7Ée)yèãB | : | |
çmtRqÝàxÿøts | : | Mengawasi manusia dalam segala gerak-gerik baik bersembunyi atau tidak[2] |
Ïm÷ytÈû÷üt/ .`ÏiB | : | Dari hadapan-Nya |
ÏmÏÿù=yzô`ÏBur | : | Dari belakang-Nya |
«!$#ÌøBr& ô`ÏB | : | Dengan perintah dan pertolongan Allah |
@A#ur | : | Penolong [3] |
b. Makna Ijmali
Dalam ayat ini dijelaskan manusia mempunyai malaikat yang bergantian mengawasinya di waktu malam dan siang mengawasi keadaannya sebagaimana para malaikat yang lain bergantian mengawasi perbuatan baik atau buruk.
Dan sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum berupa nikmat dan kesehatan lalu mencabutnya dari mereka, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.
Apakah Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum seperti penyakit, maka tidak ada seorang pun dapat melindungi mereka.
Hal ini terdapat isyarat, bahwa tidak patut meminta keburukan segera didatangkan sebelum kebaikan, dan siksaan sebelum pahala sebab jika Allah menghendaki dan menimpakan kepada mereka, maka tak seorang pun yang dapat menolak.[4]
c. Tafsir Ayat
Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya, karena Allah mengetahui yang gaib dan nampak. Jadi siapapun baik yang bersembunyi di malam hari atau berjalan terang-terangan di siang hari masing-masing ada pengikutnya yakni malaikat yang selalu mengikuti bergiliran dihadapan dan juga dibelakangnya, malaikat itu menjaga atas perintah Allah.
Kata (çmtRqÝàxÿøts) yahfazhunahu dapat dipahami dalam arti mengawasi dalam setiap gerak langkahnya, dapat juga dalam arti memeliharanya dari
gangguan yang dapat menghalangi tujuan penciptaannya.[5]
Ketika menafsirkan surat Ath-Thariq (86) ayat 4
Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.
Artinya manusia bergerak bebas di siang hari, matahari dan kehangatannya sangat membantu manusia dalam segala aktivitasnya, dan bila malam hari dengan melalui bintang-bintang manusia dapat mengetahui arah.
Dalam kehidupan dikenal istilah inayatullah di samping sunnatullah, maka inayatullah merupakan bentuk pemeliharaan dan malaikat-malaikatlah yang ditugaskan Allah untuk menangani pemeliharaan itu.
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum
y7Ï9ºs cr'Î/ ©!$# öNs9 à7t #ZÉitóãB ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã BQöqs% 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/
Yang demikian (siksaan yang terjadi terhadap Fir’aun dan rezimnya) itu adalah Karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka
Kedua ayat tersebut berbicara tentang perubahan, namun ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedang ayat kedua berbicara tentang perubahan apapun baik dari nikmat yang positif menuju nikmat negatif, begitu juga sebaliknya.
Ayat pertama juga berbicara tentang perubahan sosial bukan perubahan individu, ini dipahami dengan penggunaan kata qaum/ masyarakat.[6]
Ayat tersebut sangat jelas bahwa kehendak Allah untuk mengubah keadaan suatu kaum itu berlaku dan terlaksana dari celah-celah gerakan atau upaya yang mereka lakukan, juga perubahan arah, perilaku dnegan mengubah[7] (pola pikir) dan amalan mereka, apabila kaum itu mengubah keadaan yang ada pada diri mereka dengan arahan dan amalannya, maka Allah akan mengubah keadaan mereka sesuai dengan perubahan, yang mereka lakukan.[8]
Perubahan yang dilakukan oleh Allah, harus didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mreka, karena sisi dalam manusia melahirkan aktivitas baik positif maupun negatif dan bentuk, sifat serta corak aktivitas itulah yang mewarnai keadaan masyarakat.
Sisi dalam manusia dinamai) nafs, bentuk jamaknya () anfus dan sisi luar yang disebut (jims, sisi dalam tidak selalu sama dengan sisi luar. Nafs dalam konteks perubahan ada tiga hal pokok:
1) Nilai-nilai yang dianut dan dihayati manusia
Nilai yang mampu mengubah masyarakat dan nilai itu yang memotivasi gerak langkahnya dan yang melahirkan akhlak baik ataupun buruk.
2) Menyangkut sisi manusia yaitu iradh, yakni tekad dan kemauan keras.
Dengan iradah / tekad kuat menghasilkan aktivitas bila disertai kemauan, semakin kukuh iradah semakin seseorang berkorban jiwa dan raganya.
3) Menyangkut kemampuan, baik fisik maupun non fisik dalam konteks perubahan sosial dinamai kemampuan pemahaman
Kemampuan pemahaman mengantar seseorang / masyarakat mengelola sesuatu dengan baik dan benar apabila kemampuan pemahaman tidak dimiliki, maka lambat laun iradah akan terkikis dan mengakibatkan kepasrahan pada nasib.
Pada ayat terakhir 3 ¼çms9 ¨ttB xsù #[äþqß 5Qöqs)Î/ ª!$# y#ur& !#sÎ)ur “Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum maka tidak ada yang
menolaknya”. Penutup ayat ini hanya berbicara tentang keburukan yang menimpa kaum, artinya Allah meletakkan tanggung jawab besar kepada manusia, bahwa perubahan yang dilakukan Allah atas manusia, tidak akan terjadi sebelum manusia terlebih dahulu melangkah.[9]
d. Hubungan ayat Al-Qur’an surat Ar-Rad (13) ayat 11 dengan hadits “Al-Mu’min kuat”
Penafsiran ayat Qur’an Surat Ar-Rad (13) ayat 11 diperkuat dengan hadits Al-Mu’min Kuat, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Khodar bab Imam Khodari Wal Idzanilah
Dari Abi Hurairah r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: Mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai daripada orang mukmin yang lemah dan dari semuanya ada kebaikan karena itu jagalah yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu lemah dan kalau anda dapat cobaan maka janganlah berkata kalau aku berbuat tentulah begini atau begitu tetapi katakanlah ini hanya taqdir dari Allah dan berbuat apa yang dikehendakinya, karena kalimat “kalau” pembuka pintu syaitan”
Hadits ini memiliki rujukan yang sama dari Sunan Ibnu Majjah dalam kitab zuhud: 14.[10]
Kandungan hadits ini, agar seorang mempunyai jiwa ksatria untuk menjadi orang yang bermanfaat, menerima apa adanya selalu bersyukur namun tidak putus asa untuk meraih cita-cita atau tujuan hidup.
Jadi hubungan ayat dan hadits sangat berkaitan, bagaiman Allah lebih menyukai mu’min yang kuat dari pada yang lemah, karena setiap orang pagi dan malam selalu diikuti malaikat penjaga, sehingga siapa yang bersungguh-sungguh akan dicatat oleh para malaikat dan begitu pula sebaliknya.
e. Analisa
Pada ayat Ar-Rad (13) ayat 11, sangat jelas mengajak kita untuk memainkan peran, mengubah nasib dan menempatkan diri dalam posisi yang mulia ataukah hina, begitu juga hadits mu’min yang kuat, sangat jelas, agar setiap manusia menjadi orang yang bermanfaat.
Allah memberi tanggung jawab yang besar kepada manusia, karena dipahami bahwa kehendak Allah atas manusia yang telah ditetapkan melalui sunnah-sunnah-Nya berkaitan erat dengan kehendak dan sikap manusia.
Namun realitasnya sekarang, manusia apa yang telah dilakukan sudah mencapai optimal, dan kecenderungan selalu mengeluh, meratapi nasib, akhirnya timbul sikap nrimo/pasrah tanpa usaha.
Hal ini juga dikarenakan kurang adanya semangat perubahan, faktor budaya seperti “mangan ora mangan ngumpul” (jawa) sehingga membentuk pribadi yang malas.
Dalam ayat dan hadits ini, sudah jelas bahwa Allah sangat demokratis, segalanya bergantung pada diri kita, hidup bergantung pada cara kita memilih atau mengambil keputusan.[11]
III. Kesimpulan
Pribadi muslim yang memiliki etos kerja sangat sadar tidak akan ada satu makhluk pun di muka bumi yang mengubah dirinya kecuali dirinya sendiri.
Islam menempatkan kerja atau amal sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja bukan sekedar upaya mendapatkan rejeki yang halal guna memenuhi kehidupan, tetapi mengandung makna ibadah kepada Allah menuju sukses di akhirat.
Oleh sebab itu seorang muslim mesti menjadikan kerja sebagai kesadaran spirituanya yang tersendiri karena manusia mempunyai sisi dalam yang disebut nafs dan sisi luar yang disebut jims. Nafs dalam konteks perubahan mempunyai tiga hal pokok yaitu:
1. Nilai yang dianut
2. Motivasi gerak, sehingga melahirkan akhlak baik atau buruk
3. Iradah yaitu tekad dan kemauan keras, kemampuan fisik maupun non fisik
Begitu juga hadits di atas mempunyai makna
1. Berjiwa kharits
2. Tidak putus asa
3. Selalu bersyukur
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, Beirut : Dar Al-Fikr Juz 13.
Aj Wersik, Mujam Al-Mufahras Li al Hafidzh al Hadits al Nabawi, Leiden : E.l. Brill, 1936
Ratak dan Rais Lathief, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Jakarta , Penerbit Pustaka Al-Husna, 1991.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2002.
Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Muslim, Jakarta : Gema Insani Press, 2002.
Qutb, Sayyid, Tafsir Fi Zilalil Qur’an, Jakarta : Gema Insani Press, 2003.
[1] kata tersebut diambil dari kata aqib)yaitu tumit, yang dipahami dalam arti mengikuti. Seakan meletakan tumitnya di tempat yang dikkuti. Maksudnya adalah malaikat yang ditugaskan Allah untuk mengikuti setiap orang.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 553.
[3] Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz 13, (Beirut : Dar Al-Fikr), hlm. 134.
[4] Ibid, hlm. 75.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah …….., hlm. 554.
[6] Ibid, hlm. 556.
[7] Sayyid Qutb, Fi Zilalil Qur’an, (Beirut: Dar Al-Syurk, 1992), cet. 7 hlm. 63.
[8] Ibid, hlm. 64.
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ……., hlm. 560.
[10] Aj Wersik, Mujam Al-Mufahras Li al Hafidzh al Hadits al Nabawi, (Leiden: E.l. Brill, 1936) hlm 113 dengan modal lafal dan dalam Kamus tersebut memuat lafal
[11] Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Muslim, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), hlm. 134.
0 comments
Posting Komentar