tafsir mimpi dalam kajian barat dan islam
Dalam khasanah dunia psikologi barat, salah satu tokoh yang terkenal adalah sigmound freud yaitu, tokoh sentral dari aliran Psikoanalisis. Aliran psikoanalisis ini adalah salah satu aliran dalam dunia psikologi yang sangat terkenal, teori ini memandang bahwa jiwa manusia memiliki 3 subtansi utama, yaitu ID, EGO, dan SUPER EGO. Namun dalam pembahasan kali ini penulis tidak akan membahas masalah ini, pada kesempatan ini penulis akan membahas salah satu teori penyembuhan neurosa melalui analisis tafsir mimpi menurut freud. Dalam karyanya “ the interpretation of dream ” freud sapaan akrabnya menjadikan mimpi sebagai objek riset psikoanalisis untuk mengatasi gangguan gangguan neurosis pada pasiennya.
Dari belahan dunia lain yaitu dari Andalusia, Ibnu Arabi yang di kenal dalam dunia islam sebagai tokoh dalam bidang filosof dan juga teologi memiliki sumbangsih dalam masalah interpretasi mimpi yang di dasarkan ajaran islam.
Dalam paper kali ini penulis akan berusaha mengupas mengenai mimpi menurut 2 tokoh yaitu Freud dan Ibnu Arabi, dalam paper ini penulis tidak akan menunjuk mana dari keduanya yang lebih unggul, namun penulis hanya menguraikan analisis tafsir mimpi menurut bidang yang mereka kuasai.
Mimpi dalam pandangan barat (non islam)
Menurut freud mimpi adalah “Via Agria” atau jalan yang menghubungkan kita ke ketidaksadaran. Baginya mimpi adalah expresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan keinginan dilarang untuk di ungkapkan dalam keadaan terjaga. Menurut freud biarpun dalam keadaan tidur represi pihak ego memang kurang ketat namun itu tidak berarti bahwa represi itu terhapus sama sekali. Juga waktu tidur keinginan yang di represi tidak dapat lolos dari sensor, tetapi keingian itu mencari akal untuk menipu sensor yaitu dengan mengubah bentuknya atau dengan kata lain “menggunakan kedok”. Dengan demikian dapat kita mengerti definisi yang di berikan freud tentang mimpi yaitu cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang di represi.
Dari uraian freud tentang mimpi dapat di tarik garis besar tentang mimpi yaitu :
1. Menurut Freud, mimpi seringkali berhubungan dengan masalah-masalah seksual yang berasal dari masa kanak-kanak. Masalah tersebut menurut Freud hanya bisa diselesaikan analisis mimpi dan asosiasi bebas.
2. Freud memandang semua mimpi sebagai ekspresi dari pemenuhan harapan.
3. Setiap mimpi memiliki isi manifest dan laten. Manifes merupakan aspek dari suatu mimpi yang secara sadar teringat, sedangkan laten adalah aspek dari mimpi yang tidak dimengerti secara sadar sebelum dilakukan analisis
Adapun metode penafsiran yang di gunakan dalam metode freud adalah penggunaan:
• Metoda simbolik, adalah metoda penafsiran mimpi melalui pen-carian makna dari symbol-simbol yang muncul dalam mimpi (manifestasi impian).
• Metoda sandi (decoding), dalam metoda sandi Freud berusaha menggunakan “kunci” yang tepat. Freud memberi catatan bahwa metoda sandi bukan metoda ilmiah karena “kunci” aslinya bisa saja salah.
Freud hanya mengenalkan satu jenis mimpi yaitu mimpi kanak-kanak, dimana pada tahun-tahun berikutnya akan ditemukan mimpi yang bertipe sama, bahkan pada orang dewasa, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang valid serta dapat digeneralisasi pada tahapan berikutnya. Tekhnik tersebut lazim dilakukan oleh Freud, sebagaimana acuan tahapan-tahapan psikoseksual dalam teori kepribadiannya. Berbeda dengan Jung, rekan sekaligus muridnya, yang membagi mimpi menjadi dua; mimpi retrospektif dan mimpi introspektif.
Adapun metode penafsiran yang di gunakan dalam metode freud adalah penggunaan
• Metoda simbolik, adalah metoda penafsiran mimpi melalui pen-carian makna dari symbol-simbol yang muncul dalam mimpi (manifestasi impian).
• Metoda sandi (decoding), dalam metoda sandi Freud berusaha menggunakan “kunci” yang tepat. Freud memberi catatan bahwa metoda sandi bukan metoda ilmiah karena “kunci” aslinya bisa saja salah.
Freud hanya mengenalkan satu jenis mimpi yaitu mimpi kanak-kanak, dimana pada tahun-tahun berikutnya akan ditemukan mimpi yang bertipe sama, bahkan pada orang dewasa, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang valid serta dapat digeneralisasi pada tahapan berikutnya. Tekhnik tersebut lazim dilakukan oleh Freud, sebagaimana acuan tahapan-tahapan psikoseksual dalam teori kepribadiannya. Berbeda dengan Jung, rekan sekaligus muridnya, yang membagi mimpi menjadi dua; mimpi retrospektif dan mimpi introspektif.
Mimpi dalam pandangan islam
Dalam pandangan mengenai mimpi ,Ibn Arabi mengidentifikasinya sebagai bagian dari imajinasi. Bagi Ibnu Arabi, karena mimpi adalah bagian dari imajinasi, maka untuk memahami terminologi mimpi dalam khazanah pemikirannya, terlebih dahulu mengacu pada makna imajinasi itu sendiri. Baginya, imajinasi adalah tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan roh, tempat mereka memperoleh bentuk dan figur-figur “rupa penampakan” mereka, dan karena disana konsep-konsep murni (ma`ani) dan data indera (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event. Ia juga menambahkan, bahwa kecakapan imajinasi itu selalu aktif baik sedang dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama jam-jam bangun kecakapan ini juga disimpangkan oleh kesan-kesan indera (sense impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar, tapi dalam keadan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.
Ibn Arabi juga memandang situasi penciptaan sebagai pernyataan tidur, dimana kosmos (semesta-pen) yang tercipta terlihat sebagai mimpi Ilahi. Pengalaman manusia merupakan citra mikrokosmik. Oleh karena itu, seluruh situasi penciptaan yang memerlukan alam “yang lain” untuk mempengaruhi tujuannya, dapat dipandang sebagai semacam lamunan Ilahi, dimana ilusi sesuatu yang “bukan Aku” diperkenalkan pada kesadaran Ilahi sebagai refleksi posibilitasnya
Ibn Arabi membagi mimpi menjadi tiga:
Pertama; mimpi atau kesan-kesan yang berhubungan dengan kejadian sehari-hari dari orang itu dan mengirimkannya ke ”mata batin” dari hati yang merefleksikan dan membesarkan mereka seperti layaknya sebuah cermin. Dengan cara inilah, mimpi biasa muncul sebagai asosiasi-asosiasi dari pikiran-pikiran (ideas) dan kesan-kesan (images) yang menghubungkan diri mereka sendiri dengan beberapa obyek syahwat.
Kedua: semacam arus yang mengalir namun tetap bersih, dimana dipancarkan obyek-obyek segala gambaran (mimpi simbolis-pen). Ibn Arabi menyatakan bahwa walaupun mimpi-mimpi semacam itu dapat dipercaya, namun itu harus ditafsirkan karena hanya berupa simbol-simbol saja. Imajinasilah yang mensuplai simbol-simbol itu. Dan kita tidak harus mengambil simbol-simbol itu secara realitas. Ketika Nabi melihat susu di dalam mimpinya, ia hanya melihat simbol saja, kualitas di balakang air susu itu adalah “pengetahuan”.
Ketiga: mimpi spiritual non simbolik, yaitu; mimpi-mimpi yang dapat dipercaya yang tidak ada simbolnya. Disini imajinasi tidak campur tangan.. “Hati” langsung merefleksikan kesan-kesan spiritual (ma`ani ghaibiyah). Sebelum imajinasi dapat membaca makna simbolik apapun. Mimpi-mimpi jenis ini tidak memerlukan penafsiran, mereka adalah wahyu-wayu dari yang riil itu sendiri. Dan mimpi-mimpi berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat (kemudian) di dalam dunia luar. Dalam mimpi golongan ini terdapat wahyu (revelation) dan ilham, inspirasi yang keluar langsung dari jiwa individual.14 Karakteristik serta manfaat dari mimpi jenis ini hanya dapat diperoleh oleh jiwa-jiwa yang telah menjalani penyucian hati hingga mencapai tarafnya para wali atau para nabi.
Kategori mimpi ketiga inilah yang sama sekali tidak disinggung oleh Sigmund Freud dalam teorinya, bahkan tidak mampu dijamah oleh C.G.Jung dalam klasifikasi teori mimpinya.
Print halaman ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments
Posting Komentar