kesehatan mental dalam persepektif psikologi islam Oleh : Kamalia Najah Dalam literatur Psikologi, ditemukan beberapa pengertian kesehatan mental. Musthafa Fahmi, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: Pertama, pola negatif (salabiy), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-amradh al-dzihaniyah). Kedua, pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya. Zakiah Daradjat secara lengkap mendefinisikan kesehatan mental dengan ”terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan”. Dalam Islam, Ada tiga pola yang dikembangkan untuk mengungkap metode perolehan dan pemeliharaan kesehatan mental: Pertama, metode tahalli, takhalli, dan tajalli; Kedua, metode syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat; dan ketiga, metode iman, islam, dan ihsan. Di sini, kita lebih cenderung memilih pola yang ketiga 1. Metode Imaniah Iman secara harfiah diartikan dengan rasa aman (al-aman) dan kepercayaan (al-amanah). Orang yang beriman berarti jiwanya merasa tenang dan sikapnya penuh keyakinan dalam menghadapi problem hidup. Dengan iman, seseorang memiliki tempat bergantung, tempat mengadu, dan tempat memohon apabila ia ditimpa problema atau kesulitan hidup, baik yang berkaitan dengan perilaku fisik maupun psikis. Ketika seseorang telah mengerahkan daya upayanya secara maksimal untuk mencapai satu tujuan, namun tetap mengalami kegagalan, tidak berarti kemudian ia putus asa atau malah bunuh diri. Keimanan akan mengarahkan seseorang untuk mengoreksi diri apakah usahanya sudah maksimal atau belum. Sejalan dengan hukum-hukum-Nya atau tidak. Jika sesuai dengan hukum-hukum-Nya, tetapi masih menemui kegagalan, hal yang perlu diperhatikan adalah hikmah dibalik kegagalan tersebut. Apakah Allah SWT menguji kualitas keimanannya melalui kegagalan ataukah Dia mengasihi hamba-Nya yang salih supaya ia tidak sombong atau angkuh ketika memperoleh kesuksesan 2. Metode Islamiah Islam secara etimologi memiliki tiga makna, yaitu penyerahan dan ketundukan (al-silm), perdamaian dan keamanan (al-salm), dan keselamatan (al-salamah). Realisasi metode Islam dapat membentuk kepribadian muslim (syakhshiyah al-muslim) yang mendorong seseorang untuk hidup bersih, suci dan dapat menyesuaikan diri dalam setiap kondisi. Kondisi seperti itu merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kesehatan mental. Kepribadian muslim menimbulkan lima karakter ideal. Pertama, karakter syahadatain yaitu karakter yang mampu menghilangkan dan membebaskan diri dari segala belenggu dan dominasi tuhan-tuhan temporal dan relatif, seperti materi dan hawa nafsu. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (Q.S. Al-Furqon: 43) Kedua, karakter mushalli, yaitu karakter yang mampu berkomunikasi dengan Allah (ilahi) dan dengan sesama manusia (insani). Komunikasi ilahiah ditandai dengan takbir, sedang komunikasi insaniah ditandai dengan salam. Karakter mushalli juga menghendaki kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir diwujudkan dalam wudhu (Q.S. Al-Maidah:6), sedang kesucian batin diwujudkan dalam bentuk keikhlasan dan kekhusyukan (Q.S. al-Mukminun: 1-2) Ketiga, karakter muzakki, yaitu karakter yang berani mengorbankan hartanya untuk kebersihan dan kesucian jiwanya (Q.S. At-Taubah: 103). Karakter Muzakki menghendaki adanya pencarian harta secara halal dan mendistribusikannya dengan cara yang halal pula. Ia menuntut adanya produktifitas dan kreativitas. Keempat, karakter sha’im, yaitu karakter yang mampu mengendalikan dan menahan nafsu-nafsu rendah dan liar. Di antara karakter sha’im adalah menahan makan, minum, hubungan seksual pada waktu, dan tempat dilarang. Kelima, karakter hajji, yaitu karakter yang mau mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT. Karakter ini menghasilkan jiwa yang egaliter, memiliki wawasan inklusif dan pluralistik, melawan kebatilan, serta meningkatkan wawasan wisata spiritual. 3.Metode Ihsaniah Ihsan secara bahasa berarti baik. Orang yang baik (muhsin) adalah orang yang mengetahui akan hal-hal baik, mengaplikasikan dengan prosedur yang baik, dan dilakukan dengan niatan baik pula. Metode ini apabila dilakukan dengan benar akan membentuk kepribadian muhsin (syakhshiyah al-muhsin) yang dapat ditempuh melalui beberapa tahapan. Pertama, tahapan permulaan (al-bidayah). Tahapan ini disebut juga tahapan takhalli. Takhalli adalah mengosongkan diri dari segala sifat-sifat kotor , tercela, dan maksiat. Kedua, tahapan kesungguhan dalam menempuh kebaikan (al-mujahadat). Pada tahapan ini kepribadian seseorang telah bersih dari sifat-sifat tercela dan maksiat, kemudian ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengisi diri dengan tingkah laku yang baik. Tahapan ini disebut juga tahalli . Ketiga, tahapan merasakan (al-muziqat). Pada tahapan ini, seorang hamba tidak sekadar menjalankan perintah Khaliknya dan menjauhi larangan-Nya, namun ia merasa kelezatan, kedekatan, kerinduan, dengan-Nya. Tahapan ini disebut Tajalli. Tajalli adalah menampakkannya sifat-sifat Allah SWT pada diri manusia setelah sifat-sifat buruknya dihilangkan dan tabir yang menghalangi menjadi sirna. Daftar Pustaka Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Abdul Mujib, M.Ag. Jusuf Mudzakir, M. Si. |
http://arrisalah.org/main/content/view/49/68/ |
0 comments
Posting Komentar