Paksa Klik Iklan Pada Blogger UNTUK MENUTUP IKLAN

23/11/10

ADAB BERTAMU
(Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nur (24) ayat 27, 28
dan Hadits Riwayat Muslim)
Oleh: Yuli Sriani

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzôs? $·?qãç/ uŽöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 šcr㍩.xs? ÇËÐÈ bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB !$ygŠÏù #Yymr& Ÿxsù $ydqè=äzôs? 4Ó®Lym šcsŒ÷sムö/ä3s9 ( bÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNä3s9 (#qãèÅ_ö$# (#qãèÅ_ö$$sù ( uqèd 4s1ør& öNä3s9 4 ª!$#ur $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÈ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.  Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nur: 27-28).

I.          Pendahuluan
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita tidak akan pernah terlepas dari kegiatan kunjung mengunjungi, baik itu saudara, teman dan tetangga. Suatu kegiatan kunjung mengunjungi agar dapat berdampak positif maka Allah telah menentukan adab yaitu adat dalam bertama yaitu hendaklah meminta izin terlebih dahulu kepada penghuninya bila ingin memasuki rumahnya. Karena itu lebih baik dan tidak akan menimbulkan fitnah satu sama lain dan hendaklah kita sebagai umat Islam yang baik sebisa mungkin untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, agar terciptanya hubungan baik antar sesama.
Namun dalam kenyataannya, pada jaman ini, etika bertami tidak terlalu diperhatikan, dengan berbagai alasan bahwa sudah mengenalnya, sudah akrab, sehingga adab-adab bertamupun seringkali dilanggar.
Pada pembahasan ini, sesuai dengan tafsir Al-Qur’an surat An-Nur (24) dan hadits riwayat Muslim, sangat jelas memaparkan   bagaimana seharusnya seorang muslim bertamu.

II.       Pembahasan
a.       Makna Mufrodat
(#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@4_®Lym
:
Hingga kalian meminta izin, karena dengan meminta izin itu penghuni rumah menjadi ramah, sedang tanpa meminta izin mereka tidak akan ramah dan sulit untuk memasuki rumahnya[1]
šcr㍩.xs?
:
 Kalian mendapat pelajaran
4s1ør&
:
Lebih suci






b.      Asbabun Nuzul
Diriwayatkan  dari Ibnu Jarir dari Al-Ady bin Sabit bahwa ketika seorang wanita Ansor, berkata: “Wahai Rasulullah aku sedang berada di rumah dan tidak ingin ada yang datang padaku, akan tetapi ada seorang laki-laki dari keluargaku yang terus menemui, sedangkan aku tidak mau menemuinya?” kemudian turunlah ayat ini.[2]
c.       Makna Ijmali
Dalam ayat ini Allah menyajikan hukum orang yang memasuki rumah orang lain, tidak boleh memasuki rumahnya sebelum meminta izin dan memberi salam, agar tidak menimbulkan tuduhan yang diperintahkan kepada kita untuk menjauhi menurut kemampuan kita, di samping kadang seseorang di rumah dan di tempat berdua-duan dengan istrinya sedang dalam keadaan yang tidak suka jika orang lain melihatnya.
Allah mendidik para hambanya yang mu’min dengan berbagai adab yang bermanfaat untuk memelihara kelestarian pergaulan yang baik antara  mereka. Di antara adab itu ialah meminta izin sebelum memasuki rumah orang lain. hendaklah dalam meminta izin tidak lebih dari tiga kali. Jika diberi  izin maka boleh masuk, tetapi  jika tidak hendaklah dia pergi. Mita izin, mengucapkan salam dan menunggu hingga kalian diberi izin itu lebih baik dari pada  masuk secara tiba-tiba. Allah memberi petunjuk tentang adab itu kepada kalian agar kalian ingat, mengambil pelajaran, apa yang telah diperintahkan kepada kalian.[3]
d.      Tafsir Ayat
Ayat ini berbicara tentang etika kunjung mengunjungi, yang berkaitan dengan pergaulan sesama manusia, antara pria dan wanita. Pada dasarnya penyebar isu dan berprasangka buruk adalah sifat yang ditanamkan oleh iblis kepada orang-orang beriman  dan salah satu cara untuk menutup  pintu masuknya setan dengan jalan memerintahkan kaum muslimin untuk menghindari tempat-tempat yang dapat menimbulkan kecurigaan dan prasangka buruk. Karena itu diperintahkan untuk meminta izin sebelum masuk ke rumah.
Kata ((#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@) tasta’nisu terambil dari kata  uns yaitu kedekatan, ketenangan hati, keharmonisan. Penambah huruf sin dan       ta’ pada kata ini bermakna permintaan. Dengan dmeikian penggalan ayat ini memerintahkan mitra bicara untuk melakukan sesuatu yang

mengundang simpati tuan rumah agar mengijinkannya masuk ke rumah. Dengan kata lain perintah di atas adalah perintah meminta izin. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh tamu untuk maksud tersebut, misalnya: mengetuk pintu, berdehem, berdzikir, tapi salah satu yang terbaik dan yang digaris bawahi dalam ayat ini dengan mengucapkan salam. Dalam ayat ini juga mendahulukan penyebutan izin atas salam, tetapi tidak disebutkan berapa kali izin dan salam harus dilakukan sebelum kembali. Etika Islam siapapun orangnya apabila hendak memasuki rumah diharapkan untuk meminta izin walaupun itu rumah sendiri.[4]
Allah mendidik orang-orang yang beriman dengan adab yang sangat mulia yaitu adab minta izin kepada penghuni rumah dengan mengucapkan salam kepada penghuninya. Untuk menenangkan mereka menghilangkan rasa asing dan rasa kaget dari diri mereka. Sebelum masuk ke dalam rumah Al-Qur’an menggambarkan tentang minta ijin dengan kata isti’nas yang mengisyaratkan adanya kelembutan dalam meminta izin dan kelembutan cara mengetuk pintu. Sehingga perasaan penghuni rumah itu merasa senang dan terhibur dengannya dan mereka dapat bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tamunya. Jika penghuni rumah tidak mengizinkan kita masuk maka kita tidak boleh memaksakannya.[5]
Ayat di atas memberikan pedoman dan tata cara sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Allah melarang hambanya memasuki rumah tanpa ijin dari penghuninya dan bila sudah mendapat izin hendaklah memberi salam kepada penghuninya dan jika tidak diijinkan masuk maka tidak boleh jengkel, tetapi jika rumah yang akan dimasuki tidak ada penghuninya, tetapi mempunyai keperluan yang sangat penting, maka diperbolehkan untuk masuk tanpa ijin untuk memenuhi keperluannya.[6]
e.       Hubungan ayat Al-Qur’an surat An-Nur (24) ayat 27-28 dengan hadits “Memuliakan Tamu”
Penafsiran ayat Qur’an Surat An-Nur (24) ayat 27-28 diperkuat dengan hadits Memuliakan Tamu, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
                                                                                                                         
Dari Abu Hurairah Radhyallahu ‘Anhu dari Nabi SAW, beliau bersabda: Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaklah ia menyambung tali silaturahimnya, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah ia berkata yang baik atau hendaklah ia diam.[7]

Kandungan hadits ini bagi seseorang yang beriman kepada hari akhir hendaklah memuliakan tamunya, menyambung tali silaturahmi, berkata yang baik atau lebih baik diam.
Hubungan ayat dan hadits sama-sama tentang bertamu hanya pada ayat lebih bagaimana cara bertamu yang baik sedangkan pada hadisnya cara menjamu tamunya.

f.       Analisa
Pada ayat An-Nur (24) ayat 27, di sini menjelaskan bagaiman cara untuk melakukan kegiatan bertamu yang baik dan agar tercipta suasana yang harmonis. Selain itu juga, agar tidak ada yang dirugikan satu sama lain. begitu juga dalam hadits memuliakan tamu, tetapi di sini lebih menekankan bagaimana cara menjamu tamu yang baik, sesuai dengan tradisi masyarakat tersebut.
Allah telah memberikan peraturan yang baik kepada umatnya agar berusaha untuk mematuhinya, tapi apa yang terjadi dalam kehidupan. Banyak orang-orang yang tidak mempraktekkannya. Hal ini yang menjadikan dalam kehidupan kurang baik.
Ayat ini sangat jelas, awal diturunkannya, ketika seorang wanita Ansor, mendatangi Rasulullah meminta penjelasan pada beliau, bagaimana harus bersikap, sedangkan wanita tersebut tidak ingin menemuinya.
Anjuran Rasulullah pun mengatakan bahwa apabila kita beriman kepada Allah, Rasul serta hari kiamat, maka sudah sepatutnya kita memuliakan tamu. Hal yang sangat mudah namun kadang sangat sulit untuk dipraktekkan dalam kehidupan sekarang. Hal ini disebabkan karena kehidupan yang bersifat materialistis, sehingga apabila kedatangan tamu, baik kerabat dekat maupun jauh, dianggap menyusahkan.
Begitu juga sebaliknya bagi tamu, juga harus mengetahui adab-adab bertamu, misalnya apabila menginap jangan lebih dari tiga hari, karena akan mengganggu privasi sang tuan rumah.
Dengan demikian sesuai ayat dan hadits ini, antara tuan rumah (shohibul bait) dan tamu, harus sama-sama memahami adab-adab dalam bertamu, karena I  tu semua wujud dari beriman kepada Allah, Rasul dan hari kiamat.

III.    Kesimpulan
Hendaklah kita dalam bertamu harus menggunakan etika yang baik agar penghuni rumah senang dengan kedatangan kita. Bertamu itu sangat penting karena dengan bertamu kita bisa menjalin tali silaturahmi dengan keluarga, teman, tetangga dan masih banyak lainnya.
Allah telah menetapkan peraturan, di sini dalam bertamu juga ada etikanya yaitu meminta izin kepada penghuninya jika hendak memasuki rumahnya, dengan mengucapkan salam dan tidak boleh memaksakan untuk mask jika tidak diizinkan. Di sini juga dijelaskan bahwa hendaklah bagi si penghuni rumah untuk menjamu tamunya secara mutlak sesuai dengan kebiasaan masyarakat tersebut, karena itu merupakan salah satu bentuk orang yang beriman kepada Allah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, Beirut: Dar Al-Fikr Juz 13.

Aj Wersik, Mujam Al-Mufahras Li al Hafidzh al Hadits al Nabawi, Leiden: E.l. Brill, 1936

Ratak dan Rais Lathief, Terjemah Hadits Shahih Muslim, Jakarta, Penerbit Pustaka Al-Husna, 1991.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Qutb, Sayyid, Tafsir Fi Zilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.




[1] Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz 18, (Beirut: Dar Al-Fikr), hlm. 170
[2] Departemen Agama, Al-Qur’an The Miracle, (Jakarta: Sigma Ecamedia, 2009), hlm. 702.
[3] Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi ………, hlm. 26
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Lentera Hati, Jakarta: 2002), hlm. 318.
[5] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 229.
[6] Salim Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5, (Surabaya: Bina Ilmu, 2004), hlm. 483.
[7] Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Riyadus Sholihin (Darus Sunah Press, Jakarta: 2007), hal. 116.

0 comments