Paksa Klik Iklan Pada Blogger UNTUK MENUTUP IKLAN

22/11/10

ETIKA BISNIS
DALAM PERSPEKTIF PELAKU USAHA KONVENSIONAL

PENDAHULUAN

A.          Pengertian Bisnis
         Dalam Kamus Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial, di dunia perdagangan, dan bidang usaha.
         Skinner (1992) mendefinisikan bisnis sebagai barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat bagi masyarakat.
         Adapun dalam pandangan yang Straub dan Attner (1994), bisnis tak lain adalah suatu organisasi yang menjalankan tugas-tugas dan aktifitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.[1]
B.           Beberapa Pandangan Para Pelaku Usaha Terhadap Penerapan Etika  Dalam Bisnis
                  Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang dan jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Oleh karenanya, berbagai upaya di laksanakan untuk mencapai sasaran tersebut di atas. Upaya-upaya tersebut kadang kala menjurus pada hal yang negatif, bahkan dari sejak awal dimulai dengan iktikad tidak baik, antara lain memberikan informasi yang tidak benar, informasi yang menyesatkan, mutu atau kualitas barang yang rendah, bahkan dalam cara-cara penjualan yang bersifat memaksakan.
         Upaya-upaya yang dilakukan tersebut seringkali lebih diperburuk oleh pandangan-pandangan atau lebih dikenal dengan istilah mitos-mitos bisnis itu sendiri seperti “ bisnis adalah kotor “, “ sedikit berbohong dalam bisnis wajar “, “bisnis dengan jujur tidak akan untung “, dan lain sebagainya. Oleh karena mitos-mitos bisnis seperti itu, maka menurut sebagian pelaku bisnis, bisnis tidak perlu etika. Sebagian pelaku bisnis menyatakan, bahwa dalam berbisnis disertai berpikir dan berbuat moral adalah mustahil. Hal itu akan membuang-buang waktu saja, bahkan bisa bangkrut.
         Ada beberapa pandangan yang kontra tentang perlunya etika dalam berbisnis, antara lain beranggapan bahwa :
1)            Bisnis adalah persaingan
Semua pelaku dalam persaingan ingin keluar sebagai pemenang. Setiap persaingan adalah pertarungan, dan pertarungan mempunyai aturan tersendiri.
2)            Bisnis adalah asosial
   Aturan bisnis tidak bisa dikawinkan dengan aturan moral sosial. Ia        mempunyai kawasan tersendiri yang tidak mungkin dicampuradukkan.Pikiran       sosial bila dituangkan dalam perjanjian bisnis, akan mengganggu dan      membuat lemah bisnis itu sendiri. Bisnis yang kuat harus dituangkan dengan    power, bukan dengan kasih sayang.
3)            Bisnis campur moral akan tersingkir
                  Pelaku bisnis yang bodoh yang berlaku moralis. Jika masih ada berbasa basi dan masih menggunakan ukuran moral, maka ia akan tersingkirkan.
4)            Bisnis harus bertujuan utama keuntungan
                  Karena tujuan utama bisnis adalah keuntungan, maka tanggung jawab sosial adalah tidak relevan dan bertentangan dengan efisiensi.
5)            Bisnis harus berkonsentrasi
                  JIka ada tujuan rangkap, yakni tujuan ekonomi dan tujuan sosial, maka akan     membingungkan manager.
6)            Bisnis itu makan biaya
                  Untuk menggerakan kegiatan bisnis diperlukan biaya yang besar, apalagi          harus dibebani biaya sosial.[2]
         Adapun pandangan dari lain pihak, bahwa bisnis adalah aktifitas ekonomi manusia yang bertujuan mencari laba semata-mata oleh karena itu, cara apapun boleh dilakukan demi meraih tujuan tersebut. Konsekuensinya bagi pihak ini, aspek moralitas tidak bisa dipakai untuk menilai bisnis. Aspek moralitas dalam persaingan bisnis, dianggap akan menghalangi kesuksesannya. Pada suatu sisi, aktifitas dimaksudkan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, sementara prinsip-prinsip moralitas “ membatasi “ aktifitas bisnis.[3]
         Selain itu, dalam realitas bisnis kekinian terdapat kecenderungan bisnis yang mengabaikan etika. Persaingan dalam dunia bisnis adalah persaingan modal. Pelaku bisnis dengan modal besar berusaha memperbesar jangkauan bisnisnya sehingga para pengusaha kecil (pemodal kecil) semakin terseret.[4]
       Selain argumen di atas, ada argumen lain yang juga serupa tentang tidak kesetujuannya tentang harus adanya etika dalam berbisnis. Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis adalah sebagai berikut :
         Pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna, pencarian keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang paling menguntungkan secara sosial. Agar beruntung, masing-masing perusahaan harus memproduksi hanya apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan harus melakukannya dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat akan sangat beruntung jika manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun mengabdikan dirinya pada pencarian keuntungan yang berfokus. Argumen tersebut menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu :
a)            Sebagian besar industri tidak ”kompetitif secara sempurna”, dan sejauh sejauh perusahaan tidak harus berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan keuntungan sekalipun produksi tidak efisien.
b)            Argumen itu mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya merugikan perusahaan, membiarkan polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat produksi, penyuapan, menghindari pajak, dan sebagainya.
c)            Argumen itu mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan publik pembeli, perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar.
d)           Argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.
         Kedua, kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus mengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh Ale C. Michales disebut ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara sederhana adalah sebagai berikut : ”Sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keakhlian agen).
Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya sendiri”. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya. Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam menentukan apakah perintah klien kepada agen masuk akal atau tidak... etika bisnis atau profesional harus mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis”. Dengan demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya dibatasi oleh batasan-batasan moralitas.
         Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum.
C.           Kenyataan Pentingnya Penerapan Etika Dalam Bisnis
                  Etika bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum. Terkadang kita salah memandang hukum dan etika terlihat identik. Benar bahwa hukum tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga dituntut standar moral kita. Namun demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak punya kaitan dengan moralitas, bahkan hukum melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan moralitas, seperti hukum perbudakan yang memperbolehkan kita memperlakukan budak sebagai properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti hukum. Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar moral kita kadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum sebaliknya, hukum dikritik dan dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar standar moral. kasus etika dalam bisnis. Etika seharusnya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika mengatur semua aktivitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis merupakan aktitivitas manusia yang disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam bisnis. Argumen lain berpandangan bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku etis.
Dalam masyarakat tanpa etika, seperti ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusia terhadap manusia lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal, dan dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin dapat melakukan aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Katena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan perilaku etika kepada anggotanya dan juga masyarakat luas.
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika konsisten dengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal karena budaya etisnya yang sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan perusahaan yang secara spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang masa Apakah ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan dapripada perusahaan lainnya? Beberapa studi menunjukan hubungan yang positif antara perilaku yang bertanggung jawab secara sosial dengan profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa etika bisnis merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh pengembalian yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi menunjukan bahwa secara keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan, dan tampak justru berkontribusi pada keuntungan Dalam jangka panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnis dari pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil, namun perilaku tidak etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi kekalahan karena meruntuhkan hubungan koperatif yang berjangka lama dengan pelanggan, karyawan dan anggota masyarakat dimana kesuksesan disnis sangat bergantung.
         Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak bukti bahwa sebagian besar orang akan menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukan absentisme lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan apapun yang dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya, etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.[5]










[1] Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, ( Jakarta : Gema Insani Press ) hlm 15.
[2] Neni Sri Imaniati, Hukum Ekonomi dan Ekonomi Islam, ( Bandung : Penerbit Mandar Maju,2002 ) hlm 163-164.
[3] Muhammad dan R.Lukman Fauroni, Visi Al-Quran Tentang Etika dan Bisnis, ( Jakarta : Salemba Diniyah, 2002 ) hlm 1.
[4] Ibid, hlm 2.
[5] Fitriansyah Hambali dan Herry Sussanto, Tentang Etika Bisnis, di kutip dari http :ademsyah.blogspot.com /2010/ 10.

0 comments