Paksa Klik Iklan Pada Blogger UNTUK MENUTUP IKLAN

07/01/11

APLIKASI SALAM  DALAM PERBANKAN SYARIAH
 SEBAGAI PRODUK TRADE FINANCING

  1. PENDAHULUAN

Dalam kehidupan manusia, manusia selalu melakukan interaksi antar sesamanya dalam berbagai aktivitas ekonomi. Hal ini di lakukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Salah satu aktivitas ekonomi yang sering dilakukan adalah transaksi jual-beli, dimana dalam transaksi ini biasanya terdiri atas dua pelaku utama yakni penjual sebagai produsen dan pembeli sebagai konsumen.
Faktanya dalam kehidupan sehari-hari konsumen seringkali menginginkan barang dari produsen yang tidak atau belum diproduksi. Sehingga hal ini menyebabkan konsumen untuki melakukan transaksi jual-beli kepada produsen dengan cara memesan barang tersebut. Dalam Islam kegiatan ini disebut sebagai bai as-salam yaitu transaksi jual-beli yang dilakukan dengan cara memesan. Banyak oprang yang menyatakan kalau bai as-salam sama dengan ijon. Namun, hal ini tidak terbukti kebenarannya karena pada dasarnya keduanya berbeda.
Untuk mengetahui bagaimana aplikasi bai as-salam maka dalam penulisan makalah ini akan membahas mengenai aplikasi bai as-salam dalam i samping ituperbankan syariah.


  1. PEMBAHASAN

Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. [1] Menurut Al-Harran (1999) pembiayaan dalam perbankan Syariah dapat dibagi menjadi:
1.      Return bearing financing, yaitu bentuk pembiyaan yang secara komersial menguntungkan, ketika pemilik modal mau menanggung risiko kerugian dan nasabah juga memberikan keuntungan.
2.      Return free financing, yaitu bentuk pembiayaan yang tidak untuk mencari keuntungan yang lebih ditujukan kepada orang yang membutuhkan (poor), sehingga tidak ada keuntungan yang dapat diberikan.
3.      Charity financing, yaitu bentuk pembiayaan yang memang diberikan kepada orang miskin dan membutuhkan, sehingga tidak klaim terhadap pokok dan keuntungan.
Produk-produk pembiayaan bank Syariah, khususnya pada bentuk yang pertama, ditujukan untuk menyalurkan investasi dan simpanan masyarakat ke sektor riil dengan tujuan produktif dalam bentuk investasi bersama (investmen financing) yang dilakukan bersama mitra usaha (kreditor) menggunakan pola bagi hasil (mudharbah dan musyarakah) dan dalam bentuk investasi sendiri (Trde Financing) kepada yang membutuhkan pembiayaan mengunakan pola jual beli (murbahah, salam dan istishna) dan pola sewa (ijarah dan ijarah munthiy bittamlik). [2]
Dari sekian banyak produk pembiyaan bank syariah, terdapat tiga produk yang mendominasi portofolio pembiayan bank syariah yaitu, pembiyaan modal kerja, pembiayn investasi dan pembiayaan aneka barang dan properti. Aka-akd yang digunakan dalm plikasi pembiayan tersebut sngt bervariasi dari pola bgi hasil (mudharbah, musyarkh an musyarkh mutanaqishh), pola jual beli (murbahah, Salm, an Istishna), ataupum pola sewa (ijarah dan ijarah munthiy bittamlik).
Produk lain yang cukup penting adalah pembiayaan proyek, ekspor, pertanian, manufaktur dan pembiayaan konstruksi. Aka-akd yng igunakn lebih spesifik sesuai engan karakteristiknya. Pembiyan proyek menggunakan pola bagi hasil  (mudharbah dan musyarakah), pembiyan pertanian menggunakn pol jual-beli dengan pemesanan (salam dan salam paralel), pembiayaan manufaktur dan konstruksi mengunakan pola jual-beli dengan memprouksi atau membangujn (istishna, dan istishna paralel), sedangkan pembiayan ekspor dapat menggunakan pola bagi hasil; (mudharabah dan musyarakah) atau pola jual beli (murabahah).[3]

1.         Aplikasi Salam Dalam Perbankan Syariah
Bai as-Salam merupakan bentuk jual-beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang kemudian hari (advance payment atau forward buying atau future sales) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian. [4]
Menurut fuqaha Hanafiah, Bai as-Salam di artikan dengan menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda atau menjualsuatu barang yang cirri-ciriny ajelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari. [5] menurut Fuqaha Malikiyah, bai as-Salam didefinisikan sebagai jual-beli yang modalnya dibayar terlebih dsahulu, sedangkan barangnya diserahkan sesuai dengan waktu yang telah disepakati.[6]
Sedangkan fuqaha Hanabilah dan Syafi’iyah mendefinisikan bai as-Salam dengan akad yang telah disepakati untuk membuat sesuatu dengan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahklan kepada pembeli di kemudian hari. [7] Dari penjelasan di atas tampak sedikit berbeda para fuqaha dalam mendefinisikan bai as-Salam. Namun, meski demikian substansi daripada hal tersebut tidaklah berbeda.
a.       Dasar Hukum
Dasar hukum yang melandasi transaksi Salam adalah firman Allah SWT yang tercantum dalam al- Qur’an surat Al Baqarah ayat 282 :

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya… (Al Baqarah: 282)
Dalam kaitannya dengan ayat tersebut Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan Bai as-Salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan Ibnu Abbas bahwa “Saya bersaksi bahwa Salaf (Salam) yang dijaminuntuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah SWT pada kitab-Nya dan diijinkan-Nya”, Ia lalu membaca ayat tersebut.
Dasar hukum lain yang melandasi transaksi tersebut adalah al-Hadits. Dimana hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW, datang ke Madinah dimana saat itu penduduknya melakukan Salaf (Salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua dan tiga tahun. Beliau bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan Salaf (Salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.
Dari Shuhaibi r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkaahan: jual-beli secara tangguh, muqharadah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majjah).[8]
b.      Syarat dan Rukun
Rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi Salam antara lain:
1)            Pelaku akad, yaitu Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang dan Muslam Ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok atau memproduksi banyak pesanan.
2)            Objek akad, yaitu barang atau hasil produksi (Muslam Fiih) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman).
3)            Shighah, yaitu ijab dan qabul. 
Dalam Islam, di perbolehkannya Salam sebagai salah satu bentuk jual-beli forward sehingga kontrak Salam memiliki syarat-syarat ketat yang harus dipenuhi, antara lain (Utsmani, 1999) sebagai berikut:
1)         Pembeli harus membayar penuh baran yang di pesan pada saat akaa Salam di tandatangni. Hl ini diperlukn karena jika pembayarn belum penuh maka kan terjadi penjualan utang denga utang yang secara eksplisit dilarang.
2)         Akad Salam hanya boleh di guynakn untuk jul beli komoditas yang kualitas dn kuantuitasnya dapat di tentukan denan tepat (fungible goods atau dhawat al-amtsal).
3)         Salam tidak dapat dilakukan untuk jul-beli komoditas tertentu atau produk dari lahan pertanian atau peternakan tertentu.
4)         Kualitas yang akan di jual dengan akad Salam perlu mempunyai spesifikasi yang jelas tanpa keraguan yang dapat mernimbulkan perselisihan. Semua yang dapat irinci harus disebutkan secara eksplisit.
5)          Ukurn kuntits dari komoditas perlu isepakati dengan tegas.
6)         Tanggal dan tempat penyerahan barang yan pasti harus ditetapkan dalam kontrak.
7)         Salam tidak dapat il;akukan untuk baran-barang yang harus diserahkan langsung.
c.        Salam Dalam Perbankan Syariah
Dalam masyarakat terdapat angggapan yang menyatak bahwa jual-beli Salam tidak lain halnya dengan jual beli ijon. Pdahal paa dasrnya terdapat perben yng sangat besar antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibewli tidak diukur tau ditimbng secara jelas dan Spesifik. Demikian juga penetapan hrtga yang seringkali sangat dominan dan bergantung kepada salah satu pihak, yaitu pihak tengkulak yang seringkali menekn petni yan posisiny lebih lemh.
Biasanya dalam praktek  ijon pembeli membayar lunas harga buah-buahan di pohon yang masih belum matang (masih hiajua). Ketika panen tiba, berapapun jumlah buah yang ada di pohion adalah milik pembeli. Mungkin pembeli mendapoatkan keuntunan besar ketika buyah yang i panen lebih banyak daripada yang diperkirakan. Tu mungkin pula si tengkulak mendapati kerugian besar ketika panen ternyata hasilnya lebih sedikit. Jadi isini terdapaty iunsur ketidkjelsn (gharar) dalam hl dan jumlah barang yang diperjualbelikan. Demikian pula hal ini menunjukan bahwwa dalam praktek ijon tiak terdapat kejelasan mengenai waktunya.
Dalam jual-beli Salam tidak sama seperti jual-beli Salam karena dalam jual-beli Salam kulitas dan kuantitas barang serta waktu peneyerahan barang sudah ditentuykan dan telah disepakati oleh keduanya sebelumnya, sehinggfa idalamnya tidak unsur ghara. Oleh karena itum, apabilka panen kemuin buahnya kurng, maka penju7al harus memenuhi kekurangan tersebut dari pohon yang lain. Tetapi bila lebih maka kelebihannya menjadi milik penjual.
Dalam prakteknya i perbankan syariah, Jual-beli Salam lazim ditetapkan pada pembelian alat-alat pertnian, barang-barng industri, dn kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang memerlukan biaya untuk memproduksi barang-barang industri dapt mengajukan pembiayaanm ke bank syariah dengan skim jual-beli Salam. Dalm hal ini bank mempunyio posisi sebagai pemesan (pembeli) barang yang akan diproduksi oleh nsabah.
Untuk itu, bank lah yang akan membayar harga barang tersebut secara kontan. Pada waktu yang telah diutentukan, maka nasabha menyerahkan barang pesann tersebut kepada pihk bank. Selnjutnya bank bis menunjuk nasabah tersebut sebagai wakilnya untuk menjul barang tersebut kepda pihak ketiga secara tunai. Pihak bank juga bisa menjual kembali barang itu kepaa nasabah yang memproduksinya itu secara tangguh (bitsaman aijl) dengan mengambil keuntungan tertentu.
Jadi setelah akad Salm rtuntas dengan diserahkannya barang oleh nasabha (penujal) kepaa bnk (pembeli), masih ada beberapa akad lain yang mengirinya. Kalu bamnk kemudian menujuk nasabah tersebut sebagai wakil bank untuk menjual bareang tersebut secara tunai kepada pihak ketiga, maka yang terjai adalah akad jual-beli murabahah bitsaman ajil. Dengan berlihny6a kepemilikan barang itu kepada nasaabah, sedngkan ia belum membayar sepeserpun kepadsa bank, maka timbullah dayn (hutang). Selanjutrnya walaupun tidak wajib, biasanya diikuti dengan aka rahn, dimana bank menahan barang sebagai jaminan, baik barang tersebut berupa barang yang sudah ibeli kembali oleh nasabah tadi maupun barang yang lain. [9]
Faktanya yng terjadi di lapanga menunju7kkan bahwa bank tiaklah sellu mudah untuk menjual kembali barang industri yang dibelinya itu, baik kepaa pihak keytiga maupun kepada nasabah. Untuk itu lalu dilakukan akad Slam paralel, yaitu dua akad Salam yang dilakukan secra simultan antara bank dan nasabbah di satu pihak dan i anatar bank dan pemasok barang (supplier) di pihak lain. Menurut Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investmenb Corportion telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktek Salam paralel dengan syarat pelaksanaannya transaksi Salam tidak berganbtung pada pelksan kad Salam yang pertama.[10] Namun, beberapa ulama kontemporer memberikn catatan atas transaksi Salam parlel, terutama jika perdangana dan transaksi semacam itu dilakukan  secara terus menerus hal ini diduga akan menujurus kepada riba.[11]    
Di bank-bank Islam yang sudh mapan seperti dio Sudan, Bahrain, dabn negara-negara Timur Tengah Lainnya, transaksi dilakukan dengan sistem Salam tungal. Konsekuensi dari praktek Slm ini dalh pihak bank hrus memiliki inventory yang dikelola secara profesional agar tidaka mengalami kerugian. Bank juga harus menyediakan guang tempat penyimpanan (warehouse) barng, baik milik sendiri maupun menyewa dari pihak lain. Jadi dalam hal ini bank bertindak sebagai pedagang yang terjun lngsung dalampermaian binis komoditi.
Seangkan di negara-negr yang masih memegan paradigma bank sebagai intermediary institution di mana bank tidak melakukan transaksi perdgngan secara lngsung, maka meknisme yang memungkinkan adalah penunna praktek Slam Paralel. Artinya bank melkukan transaksi Slm engn proidusen (Salam pertama) jika bank sudh memiliki nasabah sebagai calon pembeli (Salam kedua). Bank dalam hal inmi tidak perlu mengopersikan iuang karena pengiriman barang bisa ilakukan secara langsung oleh produsen kepada pembeli.
Dalam prakteknya, bisa saja transaksi antar bank dengan calon pembeli (pemesan) terjadi lebih dahulu (Salam Pertama) kemudian bank mencari produsen untuk memenuhi pesanan tersebut (Salm Kedua) .[12]
2.         Salam dan Istishna
Menurut jumhur fuqaha, jual-beli Istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad sedang berlangsung (bay’ al-ma’dum). Tetapi menurut fuqaha Hanafiyah, ada 2 perbedaan penting antara Salam dan Istisna’, yaitu:
a.                   Cara pembayaran dalam Salam harus dilakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat dilakukan pada saat akad berlansung, bisa diangsur atau bisa di kemudian hari.
b.                  Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula. Sedangkan istisna’ menjadi pengikat unutk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggung jawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia mendefinisikan Istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual-beli suatu barang yang baru akan dibuat oleh pembuat barang.[13] Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan pengggarapannya menjadi beban  kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku disediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi akad Ijarah.
a.                   Tim mengemukakan beberapa syarat yang harus diketahui dengan jelas karena ia merupakan barang jualan.
b.                  Barang yang dipesan adalah barang yang biasa berlaku pada hubungan antar manusia seperti, bejana, alas kaki, barang-barang pengangkutan, dan lain-lain.
c.                   Tidak boleh ada jangka waktu. Jika ada jangka waktu ditetapkan untuk penyerahan barang, maka kontrak itu berubah menjadi salam, sehingga syarat-syarat salam, seperti pembayaran pada waktu akad berlangsung, harus dipenuhi.
Jadi jika dalam salam Paralel seperti yang telah dikemukakan di atas tadi nasabah yang memesan barang ke bank tidak membayar tunai ketika akad, maka akadnya itu adalah akad istisna’. Artinya salam paralel tersebut bukan lagi dua akad salam yang telah dilakukan secara simultan, melainkan akad salam yang dilakukan secara simultan dengan akad istisna’.

  1. PENUTUP
Dari paparan di atas dapat disarikan bahwa aplikasi pembiayaan dengan skim salam di perbankan syariah secara umum berlangsung dengan tiga model. Pertama, model akad Salam Tunggal Hakiki, dimana bank benar-benar melakukan pembelian barang dan kemudian terjun langsung dalam bisnis penjualan barang itu, seperti yang dilakukan oleh bank-bank Islam di Sudan, Bahrain, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya.
Kedua, model akad Salam Tunggal Hukmi (formal), di mana bank tidak benar-benar bermaksud membeli barang, karena setelah barang itu diserahkan kepadanya oleh penjual, bank menjualnya kembali kepada penjual tersebut dengan akad bay’ murabahah bisaman ajil, atau memberi kuasa (dengan akad wakalah) kepada penjual itu tadi untuk menjualkan barang itu kepada pihak lain.
Ketiga, model salam paralel, dimana bank melakukan dua akad salam secara simultan, yakni akad salam dengan nasabah yang membutuhkan barang dan memesannya ke bank dengan pembayaran dimuka (bank sebagai pembeli). Jika nasabah yang membutuhkan barang itu tadi tidak membayar harga dimuka, maka akadnya itu adalah istisna’.

 DFTAR PUSTAKA

Antonio,M. Syafi’I. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Karim. Aidwrman A. 2004. Bank Islam: analisis Fiqh dan keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada




[1] Rift Ahmd Abdul Karim. “The Impact of The Basle Capital Adequacy Ratio Regulation on the Einancial Strategi of Islamic Banks” dalam Proceeing of the 9th Expert Level Conference on Islamic Banking, disponsori oleh Bnk Inonesia dan International Association of Islamic Bvank, 7-8 April 1995, Jakarta.
[2] Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal 123
[3] Ibid hal 123-124
[4] Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal 90.
[5] Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, vol 4 (Beirut: Daral-fikr,t,t) Hal 212
[6] Ibn Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, vol 2 (Beirut: Dar al-Fikra, 1978) Hal. 198
[7] Al Syarbini al-Khatib, Mughui al-Muhtaj, vol 2 (Beirut: Dar al-Fikra, 1978) Hal. 102.
[8] M. Syafi’I Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani. Hal. 108
[9] Aiwrman A. Karim. 2004. Bank Islam: analisis Fiqh dan keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal 96
[10] M. Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syariah.., Hl 110
[11] Ibi.
[12] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2001), h.100-102
[13] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 67