Paksa Klik Iklan Pada Blogger UNTUK MENUTUP IKLAN

12/02/13

MAKALAH
TEORI KONSELING PERKAWINAN atau KONSELING PERNIKAHAN
A.  Konseling
a.  Pengertian konseling
Kata konseling counseling berasal dari kata “councel” yang diambil dari bahasa latin yaitu “counselium” artinya “bersama” atau “bicara bersama”. Pengertian “berbicara bersama-sama” dalam hal ini adalah pembicaraan konselor (counselor) dengan seorang atau beberapa klien (counselee) klien.
Dalam kamus Bahasa Inggris, “counseling” dikaitkan dengan kata “counsel” yang diartikan sebagai berikut: nasihat (to obtain counsel); anjuran (to give counsel); pembicaraan (to take counsel). Oleh karena itu konseling selalu menyangkut suatu pertemuan tatap muka yang bersifat rahasia, yang didalamnya dibicarakan suatu masalah faktual yang sedang di hadapi oleh klien.
ASCA (American School Counselor Association) mengemukakan bahwa: konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya mengatasi masalah-masalahnya.[1]
Kathryin geldard dan David Geldard dalam buku Membantu Memecahkan Masalah Orang Dengan Teknik Konseling memberikan devinisi konseling sebagai “suatu proses bantuan yang berbentuk kontak pribadi (personal contact), meskipun dalam konseling kelompok, antara individu yang mendapat kesukaran dalam suatu masalah dengan seseorang petugas professional, dalam hal pemecahan masalah, penyesuain diri, dan penyerahan diri, untuk mencapai realisasi diri secara optimal”.[2]
b.    Tujuan Dan Manfaat Bimbingan Dan Konseling
Sejalan dengan perkembangan konsepsi bimbingan dan konseling maka tujuan bimbingan dan konseling pun mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai yang lebih komprehensif. Perkembangan dari waktu ke waktu dapat dilihat pada rumusan dibawah ini:[3]
a.    Rumusan 1 (Hamrin Dan Cliffor)
Agar individu dapat:
-       Membuat pilihan-pilihan
-       Membuat penyesuaian-penyesuaian
-       Membuat interpretasi-intrepretasi
b.    Rumusan 2 (Broadsho)
-       Memperkuat fungsi-fungsi pendidikan

c.    Rumusan 3 (Shoben)
-       Rekrontruksi budaya sekolah
d.   Rumusan 4 (Tiedeman)
-       Membantu agar orang menjadi insan yang berguna
e.    Rumusan 5 (Colleman)
Bimbingn dan konseling bertujuan:
-       Memberikan dukungan
-       Memberikan wawasan, pandangan, pemahaman, keterampilan dan alternatif baru
-       Mengatasi permasalahan yang dihadapi
f.     Rumusan 6 (Thompson dan Rudolph)
Bimbingan dan konseling bertujuan agar klien:
-       Mengikuti kemaua-kemauan atau saran-saran konselor
-       Mengadakan tingkah laku secara positive
-       Melakukan pemecahan masalah
-       Melakukan pengambilan keputusan, pengembangan kesadaran, dan pengembangan pribadi
-       Mengembangkan penerimaan diri
-       Memberikan pengukuhan
g.    Rumusan 7 (Myers)
-       Membantu individu untuk memperkembangkan dirinya, dalam arti mengadakan perubahan-perubahan positif pada diri individu tersebut.
Dengan memperhatikan tujuh butir tujuan bimbingan dan konseling sebagaimana tercantum dalam rumusan-rumusan tersebut, tampak bahwa tujuan umum bimbingan dan konseling adalah untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (seperti kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi)
Adapun tujuan khusus bimbingan dan konseling merupakan penjabaran tujuan umum tersebut yang dikaitkan secara langsung dengan permasalahan yang dialami oleh  individu yang bersangkutan, sesuai dengan permasalahan yang dialami oleh individu yang bersangkutan, sesuai dengan kompleksitas permasalahannya itu.
Shertzer dan Stone yang di kutip oleh Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan dalam buku Landasan Bimbingan Dan Konseling menyimpulkan bahwa yang menjadi tujuan konseling adalah “mengadakan perubahan perilaku pada diri klien sehingga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan”.[4]
c.  Asas-Asas Bimbingan Dan Konseling
Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan professional sesuai dengan makna uraian tentang pemahaman, penanganan dan penyikapan (yang meliputi untur-unsur kognisi, afeksi, dan perlakuan) konselor terhadap kasus, pekerjaan professional itu harus dilaksanakan dengan mengikuti kaidah-kaidah yang menjamin efisien dan koevektivitas proses dan lain-lainya.
Dalam penyelenggaraaan pelayanan bimbingan dan konseling kaidah-kaidah tersebut dikenal dengan asas-asas bimbingan dan konseling, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus di terapkan dalam penyelanggaraan pelayanaan itu, asas-asas yang dimagsud adalah asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kekinian, kemandirian, kegiatan, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, ahli tangan, dan Tut Wuri Handayani.[5]
1.         Asas Kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibicarakan klien kepada konselor tidak boleh disampaikan kepada orang lain, atau lebih lebih hal atau keterangan yang tidak boleh atau tidak layak diketahui orang lain.
2.         Asas Kesukarelaan
Proses bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari pihak si terbimbing atau klien, maupun dari pihak konselor.
3.         Asas Keterbukaan
Dalam pelaksanaan konseling sangat diperlukan suasana keterbukaan dari konselor maupun keterbukaan dari dari klien.
4.         Asas Kekinian
Masalah individu yang di tanggulangi ialah masalah masalah yang sedang dirasakan bukan masalah yang sudah lampau, dan juga bukan masalah yang mungkin akan dialami dimasa yang akan datang.
5.         Asas Kemandirian
Pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan menjadikan si klien dapat berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain atau tergantung pada konselor.
6.         Asas Kegiatan
Usaha bimbingan dan konseling tidak akan memberikan hasil yang berarti bila klien tidak melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan dan konseling.
7.         Asas Kedinamisan
Usaha pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada diri klien, yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik.
8.         Asas Keterpaduan
Pelayanan bimbingan dan konseling berusaha memadukan berbagai aspek kpribadian klien. Sebagaimana diketahui individu memiliki berbagai aspek kepribadian yang kalau keadaannya tidak seimbang, serasi dan terpadu justru akan menimbulkan masalah.
Disamping keterpaduan pada diri klien, juga harus diperhatikan keterpaduan isi dan proses layanan yang di berikan. Jangan hendaknya aspek layanan yang satu tidak serasi dengan aspek layanan yang lain.
9.         Asas Kenormatifan
Usaha bimbingan dan konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik di tinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum atau negara, norma ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari. Asas kenormatifan ini di terapkan terhadap isi maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Seluruh isi layanan harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Demikian pula dengan prosedur, teknik, dan peralatan yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang dimagsudkan.
10.     Asas Keahlian
Usaha bimbingan konseling perlu di lakukan asas keahlian secara teratur dan sistematik dengan menggunakan prosedur, teknik dan alat (instrumentasi bimbingan dan konseling) yang memadai.
11.     Asas Alih Tangan
Dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling, asas alih tangan jika konselor sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membantu individu, namun individu yang bersangkutan belum dapat terbantu sebagaimana yang di harapkan, maka konselor dapat mengirim individu tersebut kepada petugas atau badan yang lebih ahli.
12.     Asas Tut Wuri Handayani
Asas ini menunjuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara konselor dan klien. Asas ini menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan pada waktu klien mengalami masalah dan menghadapi kepada konselor saja.
d. Tipe Konseling
Winkel yang dikutip oleh Mufidah mengemukakan tipe konseling yang digunakan untuk memudahkan pemberdayaan klien sesuai dengan kebutuhan, tipe tipe konseling tersebut adalah konseling krisis, konseling fasilitatif, konseling preventive dan konseling developmental.[6]
1.      Konseling krisis
Yaitu Konseling yang harus segera dilaksanakan tanpa di tunda, karena jika terjadi penundaaan maka, di khawatirkan akan terjadi hal hal yang membahayakan bagi klien.
2.      Konseling fasilitatif
yaitu memberikan konseling dalam bentuk pendampingan yang berproses menuju perubahan, tipe konseling ini memberikan waktu tentative tergantung pada capaian tujuan konseling  misalnya penyesuaian perubahan, korban KDRT.
3.      Konselor prefentif
yaitu tipe konseling yang bersifat antisipasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan terbatas untuk isu spesifik misalnya pendidikan atau pelatihan para nikah, penyuluhan kesehatan reproduksi keluarga.
4.      Konseling developmental
Yaitu Konseling yang digunakan untuk memberikan layanan konsultasi yang terus menerus untuk terapi problem yang dihadapi oleh seseorang yang dalam kondisi tertentu memerlukan sentuhan konselor, misalnya: di tinggal mati pasangan, kehilangan anak.
e.    Karakteristik Konselor
Dalam layanan proses konseling terdapat dua orang yang masing-masing di sebut konselor (orang yang memberikan bantuan) dan konseli atau klien (orang yang membutuhkan bantuan). Konselor yang dimagsud dalam layanan konseling adalah seorang konselor professional, konselor profesional adalah adalah tenaga pendidik profesional yang telah menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.[7]
Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang efektif, di samping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik atau konseling.
Cavanagh dalam Syamsu Yusuf Dan Juntika Nurihsan mengemukakan bahawa kualitas pribadi konselor di tandai dengan beberapa karakteristik sebagai berikut; (a) pemahaman diri; (b) kompeten; (c) memiliki kesehatan psikologis yang baik; (d) dapat dipercaya; (e) jujur; (f) kuat; (g) hangat; (h) responsive; (i) sabar; (j) sensitive; (k) memilki kesadaran yang holistik.[8]
f.     Penyampaian Pesan Dalam Komunikasi Konseling
Proses penyampain pesan dalam komunikasi konseling dapat dilakukan dengan dua cara, dua cara tersebut yaitu:[9]
1.      Cara verbal, yaitu dengan mengucapkan kata-kata yang dapat dimengerti oleh orang lain, atau dimengerti isi dari bahasa yang diucapkan, untuk menyampaikan apa yang menjadi keinginan, perasaan dan fikirannya, dan sebagainya.
2.      Cara non verbal, yaitu tingkah laku yang dilakukannya misalnya gerakan-gerakan tubuh, ekspresi muka, nada suara dan sebagainya sebagai ungkapan dari perasaan, keinginan, fikiran dan sebagainya.
Pada umumnya komunikasi yang terjadi antar orang baik secara sadar atau tidak sadar dilakukan dengan dua cara tersebut, hal tersebut sangat membantu dalam proses penyampaian pesan, demikian juga dalam proses konseling pesan yang disampaikan dengan verbal ditambah dengan cara nonverbal dapat meningkatkan kualitas penyampaian pesan antara konselor dengan klien.
B.  Perkawinan
a.    Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam literature fiqh berbahasa arab di sebut dengan dua kata yaitu, nikah dan Zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari hari orang arab dan banyak terdapat dalam Al Quran dan Hadits Nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam Al Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat An Nisa ayat 3

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adilMaka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Demikian pula banyak terdapat kata Za Wa Ja dalam Al Quran dalam arti kawin, seperti pada surat Al Ahzab ayat 37
   
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya, dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi
Secara arti kata, nikah berarti bergabung “ hubungan kelamin” dan juga berarti akad, adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapt dalam Al Quran memang mengandung dua arti tersebut. Kata nikah yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 230 mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.
Meskipun ada dua kemungkinan arti kata nakaha itu, namun mana diantara dua kemungkinan tersebut yang mengandung arti sebenarnya terdapat beda pendapat antara ulama, golongan ulama Syafi`iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti sebenarnya  (hakiki); dapatnya berarti juga untuk hubungan kelamin, namun dalam artian tidak sebenarnya (arti majazi)
Sebaliknya ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti untuk akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penejelasan magsud tersebut.[10]
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.    Tujuan Dan Hikmah Perkawinan
Tujuan melangsungkan perkawinan dalam islam diantaranya sebagai berikut:
1.    Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat ayat 1 surat An Nisa ayat 2.             
2.    Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang, hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat Ar Ruum ayat 21.
Adapun hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan itu adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak di izinkan syara` dan menjaga kehormatan diri  dari terjatuh pada kerusakan seksual.[11]
C.  Pengertian Konseling Perkawinan
Konseling perkawinan memiliki beberapa istilah, yaitu couple counseling, marriage counseling, dan marital counseling. Istilah-istilah ini dapat digunakan secara bergantian dan memiliki makna yang sama.
Menurut Klemer yang dikutip Latipun memaknakan konseling perkawinan sebagai konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode membantu partner-partner yang menikah untuk memecahkan masalah dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.[12]
Menurut Soeharto konseling perkawinan merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh konselor kepada individu atau sekelompok individu, yang dimungkinkan akan atau sedang mengalami sesuatu masalah yang berhubungan dengan hidup sebagai suami-istri, yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapinya.[13]
Konseling pernikahan (marriage counseling) adalah upaya membantu pasangan oleh konselor professional, sehingga mereka dapat berkembang dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya melalui cara-cara yang saling menghargai, toleransi, dan dengan komunikasi yang penuh pengertian sehingga tercapai motivasi berkeluarga, perkembangan, kemandirian, dan kesejahteraan seluruh anggota keluarga.[14]
Konseling perkawinan dapat juga dikatakan sebagai terapi pendidikan karena konseling perkawinan memberikan pemahaman kepada pasangan yang berkonsultasi tentang diri, pasangannya, dan masalah-masalah hubungan perkawinan yang dihadapi serta cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah perkawinan, dan dapat dijadikan terapi penurunan ketegangan emosional, kepada pasangan yang yang sedang berkonsultasi atas problem yang sedang terjadi yang biasanya kedua belah pihak sedang berada dalam situasi ketegangan emosi yang tinggi.
Ranah konseling perkawinan kadang-kadang digabung dalam model-model konseling keluarga, tapi oleh para ahli sejak 1970-an membedakan konseling keluarga dan konseling perkawinan.[15] Hal ini dikarenakan sebagai tuntutan kasus yang terjadi sudah tidak relevan apa bila permasalahan yang terjadi dalam biduk rumah tangga diselesaikan dengan konseling keluarga, namun konseling perkawinan pada dasarnya merupakan pengembangan dari konseling keluarga yang sudah ada sebelumnya.        Konseling perkawinan dan  konseling keluarga memiliki perbedaan, dimana konseling keluarga secara umum dibatasi sebagai konseling yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti: hubungan peran di keluarga, masalah komunikasi, tekanan dan peraturan keluarga, ketegangan orang tua anak, persaingan antar saudara, konflik antar generasi dan lain-lain.
Sedangkan Konseling perkawinan pada dasarnya adalah sebuah prosedur konseling keluarga yang dikembangkan dari adanya konflik  hubungan perkawinan dan menekankan pada  hubungan perkawinan tanpa  mengabaikan nilai konseling individual.[16]
D.  Permasalahan atau Konflik Perkawinan
Klemer mengemukakan ada tiga masalah yang mungkin dihadapi dalam perkawinan[17] :
a.    Adanya harapan perkawinan yang tidak realistis. Pada saat merencanakan pernikahan pasangan tentunya memiliki harapan-harapan tertentu sehingga menetapkan untuk menikah.
b.    Kurang pengertian satu dengan yang lainnya. Pasangan suami istri seharusnya memahami pasangannya masing-masing, tentang kesulitannya, hambatan-hambatannya, dan hal lain yang terkait dengan pribadi pasangannya.
c.    Kehilangan ketetapan untuk membangun keluarga secara langgeng. Sebagian orang memandang bahwa keluarga yang dibangunnya tidak lagi dapat dipertahankan.
Hal-hal lain adalah kurangnya kesetiaan salah satu atau kedua belah pihak, memiliki hubungan ekstramarital pada salah satu atau kedua belah pihak, dan perpisahan diantara pasangan. Sehingga dari beberapa masalah yang kerap terjadi dalam ranah rumah tangga, dimana masing masing pasangan tidak mampu menyesuaikan harapannya maka timbulah konflik dalam rumah tangga.
Menurut Finchman yang dikutip oleh Dewi & Basti mendefinisikan konflik perkawinan sebagai keadaan suami istri yang sedang menghadapi masalah dalam perkawinannya dan hal tersebut nampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika sedang menghadapi konflik. [18]
Jadi konflik perkawinan adalah pergumulan mental antara suami istri yang disebabkan oleh keberadaan dua pribadi yang memiliki pandangan, tem-peramen, kepribadian dan tata nilai yang berbeda dalam memandang sesuatu dan menyebabkan pertentangan sebagai akibat dari adanya kebutuhan, usaha, keinginan atau tuntunan dari luar dalam yang tidak sesuai atau bertentangan.
Skala konflik pernikahan mengacu pada aspek-aspek konflik pernikahan yang dikemukakan oleh Gottman dan Declaire, yaitu terjadinya kekerasan fisik pada pasangan, pelontaran kekerasan secara verbal, sikap bertahan, dan menarik diri dari interaksi pasangannya. Terjadinya kekerasan fisik ditandai dengan adanya perilaku yang menunjukkan kekerasan fisik dari salah satu pasangan kepada pasangannya; atau kedua pasangan tersebut menunjukkan kekerasan fisik. Contohnya menampar pasangannya atau saling memukul.
Pelontarkan kekerasan secara verbal ditandai dengan adanya perilaku yang menunjukkan penghinaan, kecaman atau ancaman yang dilontarkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya; atau kedua-duanya saling menyerang secara verbal yang berakibat menyakiti atau melukai perasaan pasangannya saat konflik terjadi. Sikap bertahan sebagai bentuk upaya membela diri saat konflik terjadi atau upaya mempertahankan diri atas serangan umpatan dari pasangannya. Sikap ini bisa terjadi secara verbal dan tidak verbal. Contohnya sikap secara verbal, yaitu dengan sikap yang keras kepala dan menggunakan logika, individu berusaha mempertahankan pendapatnya dan merasa pendapatnyalah yang paling benar. Menarik diri dari interaksi pasangannya, yaitu perilaku yang menunjukkan penghindaran dengan pasangan-nya dan biasanya pasangannya menunjukkan perilaku diam seribu bahasa daripada melontarkan kekecewaan terhadap pasangannya.[19]

Scanzoi dalam Sadarjoen menyatakan bahwa area konflik dalam perkawinan antara lain menyangkut beberapa persoalan. Persoalan yang sering muncul adalah:[20]
a.    Keuangan (perolehan dan penggunaanya)
b.    Pendidikan anak-anak (misalnya jumlah anak dan penanaman disiplin)
c.    Hubungan pertemanan
d.   Hubungan dengan keluarga besar
e.    Pertemanan
f.     Rekreasi (jenis, kualitas dan kuantitasnya)
g.    Aktivitas yang tidak dise-tujui oleh pasangan
h.    Pembagian kerja dalam rumah tangga, dan
i.      Berbagai macam masalah (agama, politik, seks, komunikasi dalam perkawinan dan aneka macam masalah sepele)
Bastermatck dalam Sadarjoen, berpendapat bahwa sumber konflik perkawinan adalah kedua pasangan sebenarnya merasa tidak bahagia dan biasanya sumber konflik tersebut tidak dapat didefinisikan oleh kedua pasangan. Namun sebagai pasangan, mereka merasakan adanya sesuatu yang menghalangi keintiman relasi di antara mereka.
Sadarjoen menjelaskan bahwa terdapat beberapa sumber konflik perkawinan yang saling berpengaruh satu sama lain secara dinamis, yaitu perbedaan yang tidak terelakkan, perbedaan harapan, kepekaan, keintiman dalam perkawinan, aspek kumulatif dalam perkawinan, persaingan dalam perkawinan, dan perubahan dalam perkawinan.[21]
Pasangan suami istri terdiri atas individu yang secara esensial memiliki berbagai macam perbedaan, baik dalam hal pengalaman maupun kebutuhannya. Perbedaan tersebut terkait erat dengan nilai yang mereka anut yang kelihatan peranannya ketika mereka menghadapi dan menyelesaikan masalah. Secara alami perbedaan masing-masing dalam memaknai sesuatu memiliki kecenderungan untuk memicu terjadinya konflik, sekiranya kedua pasangan tidak mampu menemukan persamaan yang dan tidak mampu menerima perbedaan-perbedaan tersebut.
E.   Tujuan Konseling Perkawinan
Tujuan konseling perkawinan adalah agar klien dapat menjalani kehidupan berumah tangga dengan bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu pada dasarnya konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk menghayati atau menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga dalam upayanya membentuk keluarga yang sakinah mawadah warohmah.
Konseling diberikan dengan harapan suami atau istri mampu menyadari sepenuhnya posisi masing-masing dalam keluarga dan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Adapun tujuan konseling perkawinan dengan menitik beratkan pada konflik perkawinan maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan :
a)    Membantu pasangan perkawinan itu mencegah terjadinya atau meletus problem yang mengganggu kehidupan perkawinan mereka.
b)   Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, Konseling diberikan dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapi.
c)    Pada pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.[22]
Tegasnya  Konseling perkawinan dilaksanakan tidak bermagsud untuk mempertahankan suatu keluarga. Konselor berpandangan bahwa dirinya tidak memilki hak untuk memutuskan cerai atau tidak sebagai solusi terhadap masalah yang di hadapi pasangan. Brammer dan Shostrom mengemukakan bahwa konseling perkawinan dimaksudkan membantu kliennya untuk mengaktualkan dari yang menjadi perhatian pribadi, apakah dengan jalan bercerai atau tidak.[23]
Konseling perkawinan dilaksanakan tidak bermaksud untuk mempertahankan suatu keluarga. Secara lebih rinci tujuan jangka panjang konseling perkawinan menurut Huff dan Miller seperti yang dikutip oleh Latipun adalah sebagai berikut :[24]
1.      Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling empati di antara partner.
2.      Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing masing.
3.      Meningkatkan saling membuka diri.
4.      Meningkatkan hubungan yang lebih intim.
5.      Mengembangkan keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan mengelola konfliknya.
F.   Obyek Konseling Perkawinan
Ada beberapa sasaran yang dijadikan sebagai obyek konseling perkawinan diantaranya adalah:[25]
1.    Klien pasangan calon pengantin yang memiliki masalah baik secara individu maupun hubungannya dengan calon pasangan, atau pihak ketiga seperti orang tua, saudara, orang ketiga yang mengancam hubungan pasangan menjadi tidak sehat dan bisa juga karena sebab-sebab lain yang menjadi masalah bagi calon pasangan.
2.    Klien dalam konseling perkawinan terdiri dari pasangan suami dan istri maupun suami istri secara individual.
3.    Pasangan pengantin akad nikah yatu calon istri dan suami yang akan  atau sedang melangsungkan pernikahan kemudian mempunyai masalah, biasanya di seputar kesiapan mental menghadapi hidup baru.
4.    Remaja usia nikah yang terdiri dari laki laki dan perempuan di usia remaja akhir atau dewasa awal, konseling yang biasa di gunakan adalah konseling preventif meliputi pemahaman tentang makna perkawinan, kesehatan reproduksi, persiapan mental menghadapi masa menentukan pasangan, problem solving dalam keluarga.
5.    Pasangan dalam konflik perkawinan terdiri dari pasangan suami istri yang sedang mengalami konflik dalam pernikahannya, biasanya tipe konseling yang di gunakan adalah konseling krisis.
G.  Wilayah Konseling Perkawinan
Beberapa Problem yang banyak di alami seputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga biasanya berada di lingkup masalah sekitar:[26]
1. Kesulitan memilih jodoh, suami atau isteri
2. Ekonomi yang kurang mencukupi
3. Perbedaan watak, temperamen dan karakter yang terlalu tajam antara suami dan isteri
4. Ketidak puasan dalam hubungan seksual
5. Kejenuhan rutinitas
6. Hubungan antar keluarga besan yang kurang baik
7. Ada orang ketiga, WIL atau PIL
8. Masalah harta warisan
9. Dominasi orang tua/mertua
10. Kesalah pahaman antara suami isteri
11. Poligami
12. Perceraian
H.  Manfaat Konseling Perkawinan
Pada prinsipnya konseling pernikahan atau perkawinan bermanfaat dalam kehidupan seseorang baik sebelum menikah, saat permulaan berumah tangga atau pada masa memilki anak-anak.[27]
1.    Masa Sebelum Pernikahan Atau Perkawinan
Kehudupan remaja saat ini yang semakin jauh dari norma sosial dan agama menimbulkan resiko tersendiri dalam menjalani masa remaja mereka, masa remaja yang labil semakin mudah menjebak mereka kedalam pergaulan antar jenis kelamin semakin tak terhindari dari perbuatan menyimpang, apalagi sekarang alat konrtasepsi dan obat anti hamil semakin mudah di dapat di pasaran, hal ini semakin membuka peluang tindakan free seks.
Untuk mengantisipasi hal ini, harus ada semacam konseling prapernikahan. Tujuannya adalah: 1) mempercepat proses pacaran menuju pelaminan. 2) pasangan yang berpacaran harus ditumbuhkan kesadaran dan keimanan mereka, agar masa pacaran tidak menyimpang dari ajaran agama. 3) membina masa itu menjadi masa kreatif untuk menumbuhkan bakat dan kemampuan masing masing sebagai modal untuk berumah tangga kelak.
2.    Masa Awal Berumah Tangga
Kehidupan berumah tangga merupakan suatu proses menjalani  kehidupan baru yang sama sekali berbeda dengan masa sebelum pernikahan, banyak penyesuaian antar suami istri untuk mampu menyelaraskan kehidupan keluarga, dan apa bila hal ini tidak dapat di tangani dengan baik maka tidak mungkin akan menimbulkan problem.
Masalah-masalah utama dalam masa awal pernikahan pertama adalah penyesuain emosional dan sosial antara mereka dengan keluarga lain seperti mertua, adik suami atau istri atau keluarga lain yang menetap, atau teman istri yang menelpon kerumah. Di samping itu, mungkin suami seorang yang banyak kelnalan di kantoe termasuk yang wanitanya mungkin saja mereka menggoda dan sebagainya. Kedua motivasi pernikahan, apakah karena materi pangkat, kedudukan gelar, kecantikan atau karena motivasi ibadah kepada Allah, ketiga kehidupan latar belakang masing-masing yang mungkin mencuat pada masa awal pernikahan.
3.    Masa Kehidupan Keluarga ( Dengan Anak-Anak)
Jika sebuah keluarga sudah memilki anak-anak, maka permasalahan keluarga makin bertambah. Pertama, mengokohkan sistem keluarga sehingga dapat menjadi dorongan bagi kemandirian dan perkembangan individu-individu anggota keluarga. Kedua, menjaga pengaruh budaya luar menjalar di keluarga melalui anggotanya. Ketiga, memelihara subsistem suami istri agar selalu harmonis, Keempat, memelihara susbsistem orang tua agar selalu berwibawa.
Konseling keluarga dan pernikahan berperan untuk membenahi sistem keluarga agar berkomunikasi, toleransi, penghargaan, dan kemandirian anggota keluarga selalu terjadi. Sehingga anggota keluarga semuanya merasa betah dan bertanggung jawab atas keutuhan sistem keluarga.
I.     Asumsi-Asumsi Konseling Perkawinan
Beberapa asumsi yang mendasari penyelenggaraan konseling perkawinan adalah :[28]
1. Konseling perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan, bukan pada kepribadian masing-masing partner. Konselor tidak menekankan untuk mengetahui secara mendalam kepribadian setiap klien yang datang.
2. Masalah yang dihadapi kedua belah pihak adalah mendesak (akut), sehingga konseling perkawinan dilaksanakan dengan pendekatan langsung (directive) untuk memecahkan masalah.
3. Masalah yang dihadapi pasangan adalah masalah-masalah normal, bukan kasus yang sangat ekstrem yang bersifat patologis.
J.     Tipe-Tipe Konseling
Untuk memahami lebih lanjut tentang penyelenggaraan konseling perkawinan, para ahli membedakan ada empat tipe konseling perkawinan yaitu:[29]
1)   Concurrent Marital Counseling
Konselor yang sama melakukan konseling secara terpisah pada setiap partner. Metode ini digunakan ketika salah satu seorang patner memiliki masalah psikis tertentu untuk dipecahkan tersendiri, selain juga mengatasi masalah yang berhubungan dengan pasangannya.
2)   Collaborative Marital Counseling
Setiap partner individual menjumpai konselor yang berbeda. Konselor kemudian bekerjasama satu sama lain, membandingkan hasil konselingnya dan merencanakan strategi  intervensi yang sesuai.
3)   Conjoint Marital Counseling
Suami istri bekerja sama datang keseorang atau beberapa konselor. Dalam conjoint counseling konselor secara simultan melakukan konseling terhadap kedua partner.
4)   Couples Group Counseling
Beberapa pasangan secara bersama sama datang keseorang atau beberapa konselor. Pendekatan ini sebagai pelengkap Conjoint counseling. Cara ini dapat mengurangi kedalaman situasi emosional antara pasangan, selanjutnya mereka belajar dan memelihara perilaku yang lebih rasional dalam kelompok.
K.  Langkah-langkah Konseling perkawinan
Langkah konseling yang dapat dilakukan dalam konseling keluarga dan perkawinan menurut Capuzzi dan Gross adalah sebagai berikut:[30]
1. Persiapan, tahap yang dilakukan klien menghubungi konselor.
2. Tahap keterlibatan (the joining), adalah tahap keterlibatan bersama klien .
3. Tahap menyatakan masalah, yaitu menetapkan masalah yang dihadapinya oleh pasangan.
4.  Tahap interaksi, yaitu konselor menetapkan pola interaksi untuk penyelesaian masalah.
5.  Tahap konferensi, yaitu tahap untuk meramalkan keakuratan hepotesis dan memformulasi langkah-langkah pemecahan.
6. Tahap penentuan tujuan, tahap yang dicapai klien telah mencapai perilaku yang normal, telah memperbaiki cara berkomunikasi, telah menaikkan self-esteem dan membuat keluarga lebih kohesif.
7.  Tahap akhir dan penutup, merupakan kegiatan mengakhiri hubungan konseling setelah tujuannya tercapai.
L.   Teknik-Teknik Konseling Perkawinan
Beberapa teknik konseling pernikahan atau perkawinan di bawah ini dapat diterapkan oleh konselor, diantara teknik yang dapat diterapkan ialah:[31]
a.    Sculpting (mematung) yaitu mengizinkan istri, suami, anggota keluarga menyatakan perasaan, persepsi, dan pikiran tentang berbagai hal termasuk perilaku yang tak disenangi. Sedangkan anggota yang lain mendengarkan dengan perhatian dan penghargaan tanpa mengintrupsi.
b.    Role Playing (bermain  peran): yaitu memberikan perna tertentu kepada seorang anggota keluarga sebagai cara untuk menyatakan perasaaan dan persepsinya.
c.    Silence (diam): yaitu teknik yang dilakukan konselor jika, 1) anggota keluarga atau suami istri banyak omong; 2) menantikan ide seorang anggota keluarga yang akan muncul; 3) jika salah seroang anggota keluarga bertindak kejam atau berbica kasar.
d.   Confrontation (konfrontasi): dilakukan konselor jika klien tidak konsisten. Misalnya berbeda kata dengan perbuatan, berbeda ucapan awal dan akhir, berbeda dengan bahasa tubuh, konselor mengatakan perbedaan itu, sehingga klien sadar dan berusaha untuk konsisten.
e.    Teaching Via Questioning (mengajar melalui pertanyaan): ialah suatu tekhnik untuk mengajarkan anggota keluarga dengan cara bertanya.
f.     Attending dan Listening: yaitu teknik untuk mendekatkan diri kepada klien dan mendengarkan mereka secara aktif.
g.    Refleksi Feeling yaitu membaca bahasa badan klien serta perasaannya kemudian merefleksikan kepadanya.
h.    Explorasi  yaitu menggali perasaan, pengalaman dan pikiran klien
i.      Summarizing yaitu menyimpulkan sementara pembicaraan yang telah berlangsung.
j.      Clarification (menjernihkan): yaitu menjernihkan atau memperjelas pembicaraan.
k.    Leading (memimpin): yaitu upaya konselor untuk memimpin dan mengarahkan pembicaraan untuk mencapai tujuan.
l.      Focusing (memfokuskan): yaitu upaya konselor untuk memfokuskan materi pembicaraan agar tifak menyimpang.
M. Peranan Konselor
Dalam konseling perkawinan terdapat beberapa peran yang harus dilakukan konselor agar konseling berlangsung secara efektif yaitu :[32]
1. Menciptakan hubungan (rapport) dengan klien;
2. Memberi kesempatan kepada klien untuk melakukan ventilasi ,yaitu membuka perasaan-perasaannya secara leluasa di hadapan pasangannya;
3.  Memberikan dorongan dan menunjukkan penerimaannya kepada kliennya;
4.  Melakukan diagnosis terhadap kesulitan-kesulitan klien; dan
5.  Membantu klien untuk menguji kekuatan-kekuatannya dan mencari kemungkinan alternative dalam menentukan tindakannya.
N.  Kesulitan dan Keuntungan Konseling Perkawinan
Timbul kesulitan terutama jika kliennya merasa tidak aman, kurang terbuka, karena keduanya secara bersama-sama hadir dan mendengarkan apa yang dibicarakan oleh partnernya.
Hal lain kesulitannya adalah konselor membutuhkan kemampuan khusus untuk menangani pasangan. Dibandingkan dengan konseling individual, konseling perkawinan membutuhkan kemampuan dalam member perhatian, mengatur pembicaraan, kemampuan konfrontasi, dan keterampilan konseling lain.
Beberapa keunggulan konseling perkawinan (conjoint) jika dibandingkan dengan konseling individual diantaranya :[33]
1.      Konselor dan pasangan klien dapat mengidentifikasi distorsi karena pasangannya mengikuti konseling secara bersama.
2.      Dapat dengan mudah untuk mengetahui konflik-konflik diantara pasangan dan transferensi yang terjadi pada pasangan.
3.      Terfokus pada hubungan pasangan saat ini, dalam pengertian konseling terfokus pada kehidupan sejak awal pernikahannya sampai kehidupan yang terakhir.

DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini, (1985), Bimbingan Dan Dasar Dasar Pelaksanaannya, Jakarta:Rajawali Pres.
Kathryin Geldard Dan David Geldard, (2008), Membantu Memecahkan Masalah Orang Lain Dengan Tekhnik Konseling, Terjemah, Pustaka Pelajar : Yogyakarta, ,
Latipun, (2001), Psikologi Konseling, UMM Press:Malang
Mufidah Ch, (2008), Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, UIN Malang Press: Malang,
Phihasniawati, (2008), Psikologi Konseling, UMM Press: Malang
Prayitno Dan Erman Amti, (2004), Dasar Dasar Bimbingan Konseling, Rineka Cipta:Jakarta,
Sadardjoen, Sawitri Supardi. (2005), Konflik Marital, Refika Aditama:Bandung.
Syamsu Yusuf Dan Juntika Nurihsan, (2005) Landasan Bimbingan Dan Konseling, Rosda:Bandung,
Syarifuddin, Amir, (2006), Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Kencana:Jakarta,
Willis S Sofyan, (2009), Konseling Keluarga, Alfabeta : Bandung.
Jurnal
Eva Meizara Puspita Dewi & Basti, (2008), Konflik Perkawinan Dan Model Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Istri, Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar,
Hasnida, (2002), Family Counseling, Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara
Eva Imania Eliasa, (2011), Menjadi Konselor Profesional: Suatu Pengharapan, Hima PPB FIP UNY
Soeharto, (2009), Konseling Perkawinan, Hubungan Suami Istri, Dan Kesehatan Seksual, Serta Implikasinya. UPT Perpustakaan UNS
Internet
Http://Konselorindonesia.Blogspot.Com/2011/04/Makalah-Konseling-Perkawinan.Html





[1] Phihasniawati, Psikologi Konseling, Hlm. 4-5
[2] Kathryin Geldard Dan David Geldard, Membantu Memecahkan Masalah Orang Lain Dengan Tekhnik Konseling, Terjemahan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar , 2008), Hlm viii
[3] Prayitno Dan Erman Amti, Dasar Dasar Bimbingan Konseling, (Jakarta:Rineka Cipta,2004), Hlm.112-124
[4] Syamsu Yusuf Dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan Dan Konseling (Bandung :Rosda,2005), Hlm. 9
[5] Prayitno Dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan Konseling, (Jakarta:Rineka Cipta,2004), Hlm.114-120
[6]  Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang:UIN Malang Press, 2008), Hlm. 372-373
[7] Makalah Eva Imania Eliasa, Menjadi Konselor Profesional : Suatu Pengharapan, Hima PPB Fip Uny 2011 Hlm 3
[8] Syamsu Yusuf Dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan Dan Konseling, (Bandung Rosda,2005), Hlm. 37
[9] Kartini Kartono, Bimbingan Dan Dasar Dasar Pelaksanaannya, (Jakarta:Rajawali Pres,1985), Hlm. 33-34
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2006) Hlm 35-37
[11] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,  Hlm. 47-48
[12] Latipun, Psikologi Konseling,( Malang:UMM Press, 2001), Hlm.188
[13] Soeharto, Konseling Perkawinan, Hubungan Suami Istri, Dan Kesehatan Seksual, Serta Imlikasinya. UPT Perpustakaan UNS 2009 Hlm. 7
[14] Sofyan S Willis, Konseling Keluarga, (Bandung:Alfabeta,2009), Hlm. 165
[15] Hasnida, Family Counseling, Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara 2002
[16] Latipun, Psikologi Konseling, (Malang:UMM Press, 2001), Hlm.188-189
[17] Latipun, Psikologi Konseling, Hlm.189-190
[18] Eva Meizara Puspita Dewi & Basti, Konflik Perkawinan Dan Model Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Istri, Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, 2008 Hlm 47
[19] Eva Meizara Puspita Dewi & Basti, Konflik Perkawinan Dan Model Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Istri, Hlm 47-48
[20] Sawitri  Supardi Sadardjoen, Konflik Marital, (Bandung:Refika Aditama,2005),
Hlm. 46-45
[21] Sawitri  Supardi Sadardjoen, Konflik Marital,  Hlm 60-66
[22]Http://Konselorindonesia.Blogspot.Com/2011/04/Makalah-Konseling-Perkawinan.Html Di Download Pada Tanggal 5 November 2012 Pada Jam 20.00 Wib
[23] Latipun, Psikologi Konseling, (Malang:UMM Press, 2001), Hlm.191
[24] Latipun, Psikologi Konseling, Hlm.191
[25] Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang:UIN Malang Press, 2008), Hlm.373-374
[26]Http://Konselorindonesia.Blogspot.Com/2011/04/Makalah-Konseling-Perkawinan.Html Di Download Pada Tanggal 5 November 2012 Pada Jam 20.00 Wib
[27] Sofyan S Willis, Konseling Keluarga, Hlm 167
[28] Latipun, Psokologi Konseling, Hlm.191-192
[29] Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender ,Hlm.192-193
[30] Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Hlm.194-195
[31] Sofyan S Willis, Konseling Keluarg, Hlm.169-170
[32] Latipun, Psikologi Konseling, Hlm.193-194
[33]  Latipun, Psikologi Konseling,  Hlm.195-196

0 comments