BAB I
PENDAHULUAN
Manusia yang sepanjang hidupnya tidak lepas dari aktifitas berpikir. Berpikir tentang diri sendiri dan di luar diri sendiri, berpikir tentang alam fana dan alam baka, berfikir tentang kehidupan dan kematian, berpikir waktu lalu, waktu kini dan waktu datang, pendeknya berpikir segala yang ada, yang pada gilirannya akan melahirkan suatu ilmu. Untuk mengenal lebih jauh tentang filsafat ilmu…..
A. Pengertian Filsafat Ilmu
Pengertian Filsafat
Secara epistimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari kata Philos yang berarti kesukaan atau kecintaan terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi kebijaksanaan). Namun pertanyaan kita selanjutnya adalah bagaimana kita mendefinisi filsafat itu sendiri? Hamersma mengatakan bahwa Filsafat merupakan pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan. Jadi, dari definisi ini nampak bahwa kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah guna memperoleh pemaknaan menuju “hakikat kebenaran”.
Sebenarnya, pengertian tentang filsafat cukup beragam. Titus memberikan klasifikasi pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan, sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif)
4. Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Oleh karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf, di bawah ini:
1. Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
2. Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
3. Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
4. Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
5. Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:" apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)" apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)" sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi).
6. Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
7. Drs H. Hasbullah Bakry merumuskan: ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Kesimpulan
Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Filsafat adalah 'ilmu istimewa' yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
2. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu: hakikat Tuhan, hakikat alam semesta, dan hakikat manusia, serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut. Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya cara mengesahkannya saja yang berbeda. Karena sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya.
3. Pada zaman modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu filsafat itu dengan dua cara, yaitu dengan
a. Mempelajari sejarah perkembangan filsafat sejak dahulu kala hingga sekarang (metode historis).
Dalam metode historis orang mempelajari perkembangan aliran-aliran filsafat sejak dahulu kala sehingga sekarang. Di sini dikemukakan riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat di segala masa, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya tentang logika, tentang metafisika, tentang etika, dan tentang keagamaan. Seperti juga pembicaraan tentang zaman purba dilakukan secara berurutan (kronologis) menurut waktu masing masing.
b. Mempelajari isi atau lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (metode sistematis).
Dalam metode sistematis orang membahas langsung isi persoalan ilmu filsafat itu dengan tidak mementingkan urutan zaman perjuangannya masing-masing. Orang membagi persoalan ilmu filsafat itu dalam bidang-bidang yang tertentu. Misalnya, dalam bidang logika dipersoalkan mana yang benar dan mana yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan mana yang salah. Kemudian dalam bidang etika dipersoalkan tentang manakah yang baik dan manakah yang baik dan manakah yang buruk dalam pembuatan manusia. Di sini tidak dibicarakan persoalan-persoalan logika atau metafisika. Dalam metode sistematis ini para filsuf kita konfrontasikan satu sama lain dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya dalam soal etika kita konfrontasikan saja pendapat pendapat filsuf zaman klasik (Plato dan Aristoteles) dengan pendapat filsuf zaman pertengahan (Al-Farabi atau Thimas Aquinas), dan pendapat filsuf zaman 'aufklarung' (Kant dan lain-lain) dengan pendapat-pendapat filsuf dewasa ini (Jaspers dan Marcel) dengan tidak usah mempersoalkan tertib periodasi masing-masing. Begitu juga dalam soal-soal logika, metafisika, dan lain-lain.
Arti Filsafat
Apakah filsafat itu? Bagaimana definisinya? Demikianlah pertanyaan pertama yang kita hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah"filsafat" dapat ditinjau dari dua segi, yakni:
1. Segi semantik
Perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab 'falsafah',yang berasal dari bahasa Yunani, 'philosophia', yang berarti 'philos' cinta, suka (loving), dan 'sophia' pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi'philosophia' berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut 'philosopher', dalam bahasa Arabnya 'failasuf". Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
2. Segi praktis
Dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti 'alam pikiran' atau 'alam berpikir'. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa "setiap manusia adalah filsuf". Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Filsuf hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Ciri Berpikir Filsafat
Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Ciri-ciri berfikir kefilsafatan sebagai berikut :
1. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.
2. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek keumumannya.
3. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya : Apakah Kebebasan itu ?
4. Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5. Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relijius.
8. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
Bidang Filsafat
Secara umum, bidang-bidang utama filsafat terbagi menjadi 3 bagian, yaitu metafisika, epistimologi dan aksiologi. Secara ringkas ketiga bidang tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Metafisika.
Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta dan physika yang berarti segala sesuatu yang berada di balik hal-hal yang sifatnya fisik. Metafisika sendiri dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang paling utama, yang membicarakan mengenai keberadaan (being) dan eksistensi (existence). Oleh karena itu, metafisika lebih mempelajari sesuatu atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Menurut Wolff, metafisika dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu :
a. Metafisika Umum (Ontologi), yaitu metafisika yang membicarakan tentang “Ada” (Being).
b. Metafisika Khusus, yaitu metafisika yang membicarakan sesuatu yang sifatnya khusus, yang terdiri dari 3 (tiga) kategori, yaitu:
Psikologi, yang membahas mengenai hakekat manusia
Kosmologi, yang membahas mengenai alam semesta
Theologi, yang membahas mengenai
2. Epistimologi.
Epistimologi berasal dari kata Episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti teori. Oleh karena itu, epistimologi berarti teori pengetahuan. Permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus pembicaraan epistimologi adalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, dan sebagainya. Dalam epistimologi, pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran.
3. Aksiologi.
Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos yang berarti akal atau teori. Oleh karena itu, aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai. Dalam cabang ini, salah satu yang paling mendapatkan perhatian adalah masalah etika/kesusilaan. Dalam etika, obyek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perilaku manusia.
DEFENISI FILSAFAT ILMU
Menurut Beerling (1985; 1-2) filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Filsafat ilmu merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion. Refleksi sekunder seperti itu merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada. Refleksi sekunder banyak memberi sumbangan dalam usaha memberi tekanan perhatian pada metodika serta sistem dan untuk berusaha memperoleh pemahaman mengenai azas-azas, latar belakang serta hubungan-hubungan yang dipunyai kegiatan ilmiah.
Sumbangan tersebut bisa berbentuk :
1. Mengarahkan metode-metode penyelidikan ilmiah kejuruan kepada penyelenggaaraan kegiatan ilmiah;
2. Menerapkan penyelidikan kefilsafatan terhadap terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah. Dalam hal ini mempertanyakan kembali secara de-jure mengenai landasan-landasan serta azas-azas yang memungkinkan ilmu itu memberi pembenaran pada dirinya serta apa yang dianggapnya benar.
Filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu. Prinsip ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang lengket didalam ilmu yang pada akhirnya memberi jawaban terhadap keberadaan ilmu. Dengan mengetahui seluk-beluk prinsip ilmu itu maka dapat diungkapkan perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan perkembangannya, keterjalinan antar ilmu, ciri penanganan secara ilmiah, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan sebagainya yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri (Jujun Suriasumantri, 1986; 301-302). Filsafat ilmu pengetahuan membahas sebab musabab pengetahuan dan menggali tentang kebenaran, kepastian, dan tahap-tahapnya, objektivitas, abstraksi, intuisi, dan juga pertanyaan mengenai “dari mana asalnya dan kemana arah pengetahuan itu?”.
Menurut Beerling, perbedaan filsafat ilmu dengan filsafat atau ilmu-ilmu lain seperti sejarah ilmu, psikologi, sosiologi, dan sebagainya terletak pada masalah yang hendak dipecahkan dan metode yang akan digunakan. Filsafat ilmu tidak berhenti pada pertanyaan mengenai bagaimana pertumbuhan serta cara penyelenggaraan ilmu dalam kenyatannya, melainkan mempermasalahkan masalah metodologik, yakni mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat menyatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah.
Pertanyaan seperti itu tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri tetapi membutuhkan analisa kefilsafatan mengenai tujuan serta cara kerja ilmu. Pertalian antara filsafat dan ilmu harus terjelma dalam filsafat ilmu. Menurut Beerling, kedudukan filsafat iilmu dalam lingkungan fisafat secara keseluruhan, adalah:
Filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat ilmupengetahuan (epistemologi);
Filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan dengan metodologi.
Menurut Bertens dan Katsoff, hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang ilmu pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu manusia seringkali lebih jelas masih mempunyai filsafat ilmu tersembunyi.
B. Tujuan Filsafat Ilmu
Menurut Harold H.Titus, filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Apabila tujuan ilmu adalah kontrol, dan tujuan seni adalah kreativitas, kesempurnaan, bentuk keindahan komunikasi dan ekspresi, maka tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom).
Dr Oemar A. Hoesin mengatakan: Ilmu memberi kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran.
S.Takdir Alisyahbana: filsafat itu dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapan hati, sekalipun menghadapi maut. Dalam tujuannya yang tunggal (yaitu kebenaran) itulah letaknya kebesaran, kemuliaan, malahan kebangsawanan filsafat di antara kerja manusia yang lain. Kebenaran dalam arti yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya baginya, itulah tujuan yang tertinggi dan satu-satunya. Bagi manusia, berfilsafat itu berarti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, senetral-netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap dasar hidup yang sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran.
Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan: Tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan 'nation', ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Studi filsafat harus membantu orang-orang untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Filsafat dapat mendukung kepercayaan keagamaan seseorang, asal saja kepercayaan tersebut tidak bergantung pada konsepsi prailmiah yang usang, yang sempit dan yang dogmatis. Urusan (concerns) utama agama ialah harmoni, pengaturan, ikatan, pengabdian, perdamaian, kejujuran, pembebasan, dan Tuhan.
Berbeda dengan pendapat Soemadi Soerjabrata, yaitu mempelajari filsafat adalah untuk mempertajamkan pikiran, maka H. De Vos berpendapat bahwa filsafat tidak hanya cukup diketahui, tetapi harus dipraktekkan dalam hidup sehari-sehari. Orang mengharapkan bahwa filsafat akan memberikan kepadanya dasar-dasar pengetahuan, yang dibutuhkan untuk hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup secara baik. Filsafat harus mengajar manusia, bagaimana ia harus hidup agar dapat menjadi manusia yang baik dan bahagia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).
Tujuan Mempelajari Filsafat Ilmu bagi Mahasiswa
1. Filsafat Ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga mahasiswa menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistic (menganggap hanya pendapatnya yang paling benar)
2. Filsafat Ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi, dan metode keilmuan dengan cara menerapkan metode ilmiah dengan memperhatikan struktur ilmu pengetahuan, sebab metode hanya sarana berpikir, bukan merupakan hakikat ilmu pengetahuan.
3. Filsafat Ilmu memberikan pendasaran logis rasional terhadap metode keilmuan, sehingga dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.
Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu bagi Mahasiswa
1. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh dapat dipahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu.
2. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga akan mendapatkan gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
3. Menjadi pedoman bagi dosen dan mahasiswa di dalam membedakan persoalan yang ilmiah dan non ilmiah
4. Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Implikasi Mempelajari Mempelajari Filsafat Ilmu bagi Mahasiswa
1. Diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, supaya para ilmuwan memiliki landasan berpijak yang kuat. Ini berarti ilmuwan alam perlu memahami dan mengetahui secara garis besar tentang ilmu sosial, dan ilmuwan sosial perlu memahami dan mengetahui secara garis besar tentang ilmu alam, sehingga antara ilmu terjalin kerjasama yang harmonis untuk memecahkan masalah kemanusiaan.
2. Menyadarkan ilmuwan agar tidak terjebak dalam pola pikir ‘menara gading’, yakni hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengkaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar dirinya.
C. Ruang Lingkup Kajian Filsafat Ilmu
Beberapa pengertian tentang filsafat ilmu :
1. Robert Ackermann: Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang setelah dibuktikan.
2. Lewis White Back: Filsafat ilmu itu dalam mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3. Cornelius Benjamin: Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafat yang menelaah secara sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-pranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.
4. May Brodbeck: Filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan falsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
Keempat definisi tersebut memperlihatkan ruang lingkup atau cakupan yang dibahas di dalam filsafat ilmu, yang meliputi antara lain:
1. Komparasi Kritis Sejarah Perkembangan Ilmu;
2. Sifat Dasar Ilmu Pengetahuan;
3. Metode Ilmiah;
4. Praanggapan-Praanggapan Ilmiah; Sikap Etis Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
5. Sikap Etis Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Diantaranya faktor-faktor itu, yang banyak dibicarakan terutama adalah sejarah perkembangan ilmu, metode ilmiah, dan sikiap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Maka persepsi kami sebagai seorang yang beragama Islam dalam menyikapi kebenaran tersebut dalam kaitannya dengan persamaan dan perbedaan telah diyakini bahwa kebenaran yang mutlak tanpa diragukan lagi dan ainal yakin adalah kebenaran yang datang dari agama Islam sebagaimana dalam Qs. Al-Imron 60, bahwa kebenaran itu datang dari Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang ragu-ragu. Sehingga apabila dipadukan ayat-ayat kauniah (semesta alam) benar-benar terbukti seperti penjelasan tentang penciptaan langit dan bumi, tentang pergantian siang dan malam adalah merupakan keterangan bagi orang-orang yang berfikir, Qs. Al-Imron.190.
Kebenaran yang datang dari ilmu dan filsafat, dan filsafat ilmu yang merupakan cabang pengetahuan filsafat yang menelaah secara sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metodenya, konsep-konsepnya dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual dimana ketiganya berasal dari hasil ra’yu (akal, budi, dan rasio) manusia yang sangat terbatas, karena ilmu yang diberikan Allah kepada umat manusia sangat sedikit sekali dan menjadi sunatulah, sebagai anugrah dan kenikmatan yang diberikan oleh yang Maha menciptakan alam semesta ini termasuk manusia didalamnya. Oleh karena itu akal pikiran manusia dalam mencari kebenaran baik dengan ilmu maupun dengan filsafat harus dipandu oleh nakli Allah (agama), sehingga dalam mencari kebenaran apapun yang dikehendaki manusia tidak akan tersesat dari jalan kebenaran.
Kajian dalam dunia filsafah ilmu sebagai pisau analisisnya yang terdiri dari Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi. Dimana ketiga hal tersebut saling memiliki keterkaitan dan keterikatan dan keterbatasan. Fungsi dan tugas pokok filsafat ilmu antara lain adalah mengembangkan ilmu, memberikan landasan filosofik untuk memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu maupun membekali kemampuan membangun teori ilmiah.
Subtansi kajian filsafat ilmu adalah antara lain mengenai kenyataan, kebenaran, tingkat kepastian atau konfirmasi, dan logika inferensi. Ontologi adalah objek apa yang dikaji sebagai akar ilmu; Epistimologi bagaimana cara mengkaji objek tersebut sebagai pondasi keilmuan dalam mencari kebenaran objek dari suatu disiplin ilmu (bagaimana cara memperoleh ilmu) yang akan melahirkan metodologi penelitian; Aksiologi bagaimana menggunakan hasil kajian tersebut. Selanjutnya untuk lebih memahami secara lebih mendalam dari ketiga hal tersebut perlu mengetahui pengertiannya adalah sebagai berikut:
1. Louis O. Kattsoff, mendefinisian aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat segala sesuatu. Di dunia ini terdapat banyak pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistimologi. Estetika berhubungan dengan masalah keindahan, etika berhubungan dengan masalah kebaikan, dan epistimologi berhubungan dengan masalah kebenaran.
2. Menurut Kattsoff, permasalahan tentang “hakikat nilai” dapat dijawab dengan tiga macam cara; orang dapat mengatakan bahwa:
a. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaanya tergantung pada pengalaman-pengalamanan mereka. Yang demikian ini dapat dinamakan “subjektivitas”.
b. Atau dapat pula orang mengatakan nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan “objektivisme logis”.
c. Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa nilai-nilai merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan. Yang demikian ini disebut “objektivisme metafisik”.
3. Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis tersebut adalah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria, dan status epistimologi dari nilai-nilai itu. Atau aksiologi berarti kajian terori umum yang menyangkut dengan nilai, atau suatu kajian yang menyangkut segala sesuatu yang bernilai.
4. Menurut Ali Abdul Azhim, secara sederhana aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tantang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi perdebatan panjang antara para filusuf tentang tujuan ilmu pengetahuan. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi yang menekuninya, dan mereka menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan”, sebagaimana mereka katakan “seni untuk seni”. Sebagian berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah upaya para penelitian menjadikan alat atau jalan untuk menambah kesenangan hidup di dunia ini. Sebagian lagi menyatkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan. Adapun dalam Islam bahwa ilmu pengetahuan merupakan alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar tujuan ilmu pengetahun itu sendiri. Karena dibalik kehidupan materi ini ada lagi kehidupan yang mereka lalaikan, yakni kehidupan akhirat (QS Ruum: 6-7), maka tujuan ilmu pengetahuan dalam Islam adalah untuk menggapai Ridlo Allah SWT dalam meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Jadi hubungan benang merah antara pilar ajaran islam atau agama islam dengan filsafat ilmu sangat erat hubungannya dan menjadi landasan atau pedoman atau payung akal pikiran dalam menggali dan mengembangkan seluruh disiplin ilmu mau kemana diarahkan harus berdasarkan tuntunan agama yang hak yaitu dinul islam. Kaitan dari ketiga kajian tersebut jika dihubungkan dengan kajian agama Islam dimana ontologi sebagai objek apa yang dikaji (akar ilmu) adalah sebagai teori ilmu pengetahuan yang mengungkapkan tentang hakikat segala sesuatu yang ada harus berdasarkan pada observasi yang benar yaitu observasi yang dituntun oleh Allah sendiri yang berdasarkan pada wahyu-wahyunya sebagaimana telah diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W inilah, ontologi baru bagi Sains yang disebut Sains Tauhidulloh yaitu sains dimana “Naqliah memandu Aqliah” suatu sains yang tidak lagi menimbulkan kerusakan-kerusakan dimuka bumi inilah sains yang berupa “Rahmatan Lil Alamin”.
Demikian juga Epistimologi adalah bagaimana cara mengkaji objek yang pada dasarnya adalah ilmu yang membicarakan tentang sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau dengan kata lain Epistimologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan atau teori tentang pengetahuan. Sebagaimana sumber-sumber dari Al-Quran dan Hadist Rosul itu merupakan epistimologi yaitu ilmu pengetahuan atau langkah-langkah dan cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan yang telah digariskan oleh Al-Quran. Epistimologi ilmu perpektif ini bahwa ilmu pengetahuan diperoleh dengan menggunakan alat indra, akal, mata hati dan taufik dan hidayah dari Allah. Sebenarnya epistimologi ilmu persepektif Al-Quran merupakan silmutan secara intergratif dari aliran-aliran epistimologia yang terdapat dalam filsafat yaitu empirisme, rasionalilsme, dan intuisme. Sedangkan aksiologi adalah bagaimana menggunakan hasil kajian dari objek yang dikaji, yaitu ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat segala sesuatu dialam semesta jagat raya ini jug didasarkan pada koridor-koridor yang benar dan lurus yaitu wahyu yang memandu fitrah aqli manusia, oleh karena itu ketiga istilah tersebut jika dihubungkan dengan keyakinan agama adalah benar, ketiganya saling memiliki keterkaitan dan keterikatan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dimana sumber-sumber wahyu dari Al-Quran dan sunah Rosul benar-benar merupakan epistimologi yang hakiki yang terhindar dari kesalahan karena datang dari yang maha pencipa. Yang merupakan Naqliah yang dapat memandu Aqliah ketika mencari kebenaran tidak lewat ilmu pengetahuan dan filsafah ilmu hasil ro’yu manusia yang semata yang sedikit dan terbatas. Maka apabila melakukan aksiologi adalah bagaimana menggunakan hasil kajian yaitu pengetahuan yang menyelidiki tentang segala sesuatu yang ada dengan berpedoman kepada teori pengetahuan (epistimologi) yang bersumber dari Quran dan sunah Rosul maka akan mendapatkan hasil kajian ilmu yang berupa rahmatan lil alamin. Tujuan mencari kebenaran dengan ilmu Allah yaitu ilmu pengetahuan dalam Isalam adalah untuk mendapatkan ridho Allah SWT dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, bukan meraih kebahgian duniawi semata.
Filsafat ilmu memililki peran yang signifikan terhadap perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu menjadi is a tool of how to loking for science and knowledge development. Dalam membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan sosial dan humaniora dalam sebuah penelitian harus dilakukan secara sistematik dengan pendekatan filsafah ilmu sebagai alat pisau analisisnya. Sebelum menjelaskan lebih lanjut filsafat ilmu sebagai pendekatan yang digunakan dalam penelitian Science, maka kami akan menjelaskan dulu tentang hakekat Science. Science tidak bertanya tentang apakah objek penelitian itu baik atau buruk, science tidak bertanya tentang apakah objek penelitian itu baik atau buruk, science atau ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai akumulasi pengetahuan yang sistematis. Science harus dapat memperluas dan mengembangkan ilmu pengetahuan, akan tetapi hakekat Science yang utama adalah bagaimana sebagai suatu metode pendekatan terhadap keseluruhan dunia empiris, yakni dunia kenyataan yang dapat dikenal olah manusai melalui pengalamnnya.
Science tidak bertujaun untuk menemukan kebenaran secara mutlak, bagi sience segala pengetahuan bersifat sementara atau tentatif yang dapat berubah, bila ditemukan data baru, misalnya jika ditemukannya dengan menggunakan alat baru. Science adalah suatu metode analisis dan mengemukakan penemuannya dengan hati-hati dalam bentuk “jika”, “maka”. Dengan science, teori memegang peran yang amat pentian, teori merupakan hal yang pokok dan dasar bagi science. Peneliltian merupakan suatu kegiatan pengkajian terhadap suatu permasalahan denga menggunakan metode ilmiah. Hasilnya berupa pengetahuan ilmiah atau teknologi yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
Sedangkan evaluasi merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang diperoleh melalui tata cara tertentu berdasar pada metode berpikir ilmiah. Hasilnya adalah pengetahuan ilmiah yang digunakan untuk pengambilan kebijakan terhadap hal yang dipermasalahkan. Dengan demikian, kegiatan penelitian, pengembangan, dan evaluasi merupakan kegiatan ilmiah yang akan ditulis dalam bentuk dan format penulisan ilmiah seperti buku, artikel dan lain-lain.
Filsafat ilmu yang merupakan cabang filsafat yang menelaah secara sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metodenya, konsep-konsepnya dan peranggapan-peranggapannya, seta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual berasal dari hasil ra’yu (akal, budi, dan rasio) manusia yang sangat terbatas, karena ilmu yang diberikan Allah kepada umat manusia sangat sedikit sekali dan menjadi sunatulah, sebagai anugerah dan kenikmatan yang diberikan oleh yang Maha menciptakan alam semesta ini termasuk manusia didalamnya. Oleh karena itu, akal pikiran manusia dalam mencari kebenaran dalam memperluas dan mengembangkan ilmu pengetahuan (baik ilmu social, fisika, ekonomi, hukum dll) dengan pendekatan filsafat ilmu sebagai pisau analisis harus dipandu oleh nakli Allah (agama) sebagai landasan Aksiomatika Ajaran Agama Islam.
…………..karena sesungguhnya agama diisi Allah adalah agama islam, sesungguhnya penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam itu merupakan keterangan bagi orang-orang yang berpikir (Q,S.3 ayat 190) sehingga dalam mencari kebenaran apapun yang dikehendaki manusia tidak akan tersesat dari jalan kebenaran.
Untuk mengetahui kajian dalan dunia filsafat ilmu sebagai pisau analisinya yang terdiri dari Ontologi, Estimologi, dan Aksiologi . Dimana ketiga hal tersebut saling memiliki keterkaitan dan keterikatan dan keterbatasan. Fungsi dan tugas pokok filsafah ilmu antara lain adalah mengembangkan ilmu, memberikan landasan filosofik untuk memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu, memberikan landasan filosofik untuk memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmu maupun membekali kemampuan membangun teori ilmiah.
Substansi kajian filsafat ilmu adalah antara lian mengenai kenyataan , kebenaran, tingkat kepastian atau konfirmasi, dan logika inferansi. Ontologi adalah objek apa yang dikaji sebagai akar ilmu dilandasi oleh landasan aksiomatika ajaran agama isalam , bagaimana semua mahluk yang ada dilangit dan bumi itu milik Allah dan semua itu harus diperlakukan secara adil dan objek yang diteliti termasuk ayat yang tercipta walaupun semua itu mengabdi pada manusia sebagai sunahtulah dalam hal ini alquran memberikan petunjuk (solusi) berupa metode praktis tentang cara –cara memperoleh ilmu, yakni melalui metode ilmiah yang realistis, dan jauh dari perdebatan teroritis dan hipotesis. Hal ini bertujuan demi kebaikan umat manusia dan menjauhkannya dari kekeliruan-kekeliruan, sesuai dengan Firman Allah:
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyaik akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya (QS. Qaf: 37).
D. Sejarah Perkembangan Ilmu
Sejarah Filsafat Kuno
Filsafat Yunani. Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat. Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan pemikiran filsafat di negeri Yunani. Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato: "All Western phylosophy is but a series of footnotes to Plato". Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini. Tema-tema filsafat Yunani seperti ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema bagi filsafat seluruhnya.
Filsuf- Filsuf Pertama
Ada tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam. Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu. Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximandros berpendapat to apeiron atau yang tak terbatas sedangkan Anaximenes menunjuk udara. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup yang pertama adalah ikan. dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan.
Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia. Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok, adalah:
1. Pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu.
2. Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan, Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan.
3. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan pusat dari sebuah rumah. Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos Di kota Ephesos dan menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur "Pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.
Filosof pertama yang disebut sebagai peletak dasar metafisika adalah Parmenides. Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos. Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja. Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur. Empedokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empedokles juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang sama. Pruralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya. Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh dari daging. Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang berarti roh atau rasio. Nus tidak tercampur dalam benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai segala sesuatu. Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara "yang ruhani" dan "yang jasmani". Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf atomis. Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z). Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides atom-atom tidak dijadikan dan kekal. Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu atom-atom dan yang kosong.
Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom. Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu). Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya.
Kaum Sofis dan Socrates
Filsafat dalam periode ini ditandai oleh ajarannya yang "membumi" dibandingkan ajaran-ajaran filsuf sebelumnya. Seperti dikatakan Cicero --sastrawan Roma-- bahwa Socrates telah memindahkan filsafat dari langit ke atas bumi. Maksudnya, filsuf pra-Socrates mengkonsentrasikan diri pada persoalan alam semesta sedangkan Socrates mengarahkan obyek penelitiannya pada manusia di atas bumi. Hal ini juga diikuti oleh para sofis. Seperti telah disebutkan di depan, sofis (sophistes) mengalami kemerosotan makna. Sophistes digunakan untuk menyebut guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peran penting dalam masyarakat. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para sofis merupakan pemilik warung yang menjual barang ruhani. Sofis pertama adalah Protagoras, menurutnya manusia ialah ukuran segala-galanya. Pandangan ini bisa disebut "relativisme" artinya kebenaran tergantung pada manusia. Berkaitan dengan relativisme ini maka diperlukan seni berdebat yang memungkinkan orang membuat argumen yang paling lemah menjadi paling kuat. Ajarannya tentang negara mengatakan bahwa setiap negara mempunyai adat kebiasaan sendiri; seorang dewa berkunjung kepada manusia dan memberi anugerah --keinsyafan akan keadilan dan aidos hormat pada orang lain-- yang memungkinkan manusia dapat hidup bersama.
Filsuf berikutnya adalah Gorgias yang mempertahankan tiga pendiriannya; 1) Tidak ada sesuatupun, 2) Seandainya sesutu tidak ada, maka ia tidak dapat dikenali, 3) Seandainya sesuatu dapat dikenali, maka hal itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain. Sofis Hippias berpandangan bahwa Physis (kodrat) manusia merupakan dasar dari tingkah laku manusia dan susunan masyarakat, bukannya undang-undang (nomos) karena undang-undang sering kali memperkosa kodrat manusia. Sofis Prodikos mengatakan bahwa agama merupakan penemuan manusia. Sedangkan Kritias berpendapat bahwa agama ditemukan oleh penguasa-penguasa negara yang licik.
Sebagaimana para sofis, Socrates memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman keseharian dan kehidupan kongkret. Perbedaannya terletak pada penolakan Socrates terhadap relatifisme yang pada umumnya dianut para sofis. Menurut Socrates tidak benar bahwa yang baik itu baik bagi warga negara Athena dan lain lagi bagi warga negara Sparta. Yang baik mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia, dan harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Pendirinya yang terkenal adalah pandangannya yang menyatakan bahwa keutamaan (arete) adalah pengetahuan, pandangan ini kadang-kadang disebut intelektualisme etis. Dengan demikian Socrates menciptakan suatu etika yang berlaku bagi semua manusia. Sedang ilmu pengetahuan Socrates menemukan metode induksi dan memperkenalkan definisi-definisi umum.
Plato. Hampir semua karya Plato ditulis dalam bentuk dialog dan Socrates diberi peran yang dominan dalam dialog tersebut. Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa Plato memilih yang begitu. Pertama, sifat karyanya Socratik --Socrates berperan sentral-- dan diketahui bahwa Socrates tidak mengajar tetapi mengadakan tanya jawab dengan teman-temannya di Athena. Dengan demikian, karya plato dapat dipandang sebagai monumen bagi sang guru yang dikaguminya. Kedua, berkaitan dengan anggapan plato mengenai filsafat. Menurutya, filsafat pada intinya tidak lain daripada dialog, dan filsafat seolah-olah drama yang hidup, yang tidak pernah selasai tetapi harus dimulai kembali. Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan proses mengenal. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu inderawi yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah berubah. Idea merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya pikiran tergantung pada idea-idea tersebut. Idea-idea berhubungan dengan dunia melalui tiga cara; Idea hadir di dalam benda, idea-I eaberpartisipasi dalam kongkret, dan idea merupakan model atau contoh (paradigma) bagi benda konkret. Pembagian dunia ini pada gilirannya juga memberikam dua pengenalan. Pertama pengenalan tentang idea; inilah pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratik yaitu pandangan panta rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia idea tidak pernah berubah dan abadi. Memang jiwa Plato berpendapat bahwa jika itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan idea. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami pra eksistensi dimana ia memandang idea-idea. Berdasarkan pandangannya ,ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap idea-idea yang telah dilihat pada waktu pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang jiwa manusia ini bisa disebut penjara. Plato juga mengatakan, sebagaimana manusia, jagat raya juga memiliki jiwa dan jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia. Plato juga membuat uraian tentang negara. Tetapi jasanya terbesar adalah usahanya membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama "Akademia" yang paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Mata pelajaran yang paling diperhatikan adalah ilmu pasti. Menurut cerita tradisi, di pintu masuk akademia terdapat tulisan; "yang belum mempelajari matematika janganlah masuk di sini".
Aristoteles.
Ia berpendapat bahwa seorang tidak dapat mengetahui suatu obyek jika ia tidak dapat mengatakan pengetahuan itu pada orang lain. Barangkali dengan pandangannya yang seperti ini jumlah karyanya sangat banyak bisa dijelaskan. Spektrum pengetahuan yang diminati oleh Aristoteles luas sekali, barangkali seluas lapangan pengetahuan itu sendiri.
Aristoteles berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan tersendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan berfikir secara ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, logika diuraikan secara sistematis. Tidak dapat dibantah bahwa logika Aristoteles memainkan peranan penting dalam sejarah intelektual manusia; tidaklah berlebihan bila Immanuel Kant mengatakan bahwa sejak Aristoteles logika tidak maju selangkahpun. Mengenai pengetahuan, Aristoteles mengatakan bahwa pengetahuan dapat dihasilkan melalui jalan induksi dan jalan deduksi, Induksi mengandalkan panca indera yang "lemah", sedangkan deduksi lepas dari pengetahuan inderawi. Karena itu dalam logikanya Aristoteles sangat banyak memberi tempat pada deduksi yang dipandangnya sebagai jalan sempurna menuju pengetahuan baru. Salah satu cara Aristoteles mempraktekkan deduksi adalah Syllogismos (silogosme).
1. Fisika Di dalam fisikanya, Aristoteles mempelajari dan membagi gerak (kinetis) menjadi dua; gerak spontan dan gerak karena kekerasan. Gerak spontan yang diartikan sebagai perubahan secara umum dikelompokkan menjadi gerak subsitusional yakni sesuatu menjadi sesuatu yang lain seperti seekor anjing mati dan gerak aksidental yakni perubahan yang menyangkut salah satu aspek saja. Gerak aksidental ini berlangsung melalui tiga cara; yaitu gerak lokal seperti meja pindah dari satu tempat ke tempat lain, gerak kualitatif seperti daun hijau menjadi kuning, dan gerak kuantitatif seperti pohon tumbuh membesar. Dalam setiap gerak ada 1) keadaan terdahulu, 2) keadaan baru, dan 3) substratum yang tetap. Sebagai contoh air dingin menjadi panas; dengan dingin sebagai keadaan terlebih dahulu, panas sebagai keadaan baru dan air sebagai substratum. Analisa gerak ini menuntut kita membedakan antara aktus dan potensi. Dalam fase pertama panas menjadi potensi air dan pada fase kedua panas manjadi aktus. Aristoteles juga mengintrodusir pengertian bentuk (morphe atau eidos) dan materi (hyle) ke dalam analisa geraknya. Dalam contoh air dingin menjadi panas, air sebagai hyle dan dingin serta panas sebagai morphe. Aristoteles berpendapat behwa setiap kejadian mempunyai empat sebab yang harus disebut. Keempat sebab tersebut adalah penyebab efisien sebagai sumber kejadian, penyebab final sebagai tujuan atau arah kejadian, penyebab material sebagai bahan tempat kejadian tempat berlangsung dan penyebab formal sebagai bentuk menyusun bahan. Keempat kejadian ini berlaku untuk semua kejadian alamiah maupun yang disebabkan oleh manusia. Aristoteles juga membicarakan phisis sebagai prinsip perkembangan yang terdapat dalam semua benda alamiah. Semua benda mempunyai sumber gerak atau diam dalam dirinya sendiri. Pohon kecil tumbuh besar karena phisisnya, pohon tetap tinggal pohon berkat phisis atau kodratnya. Mengenai alam, Aristoteles berpendirian bahwa dunia ini bergantung pada tujuan (telos) itu. Ia mengatakan "Alam tidak membuat sesuatupun dengan sia-sia dan tidak membuat sesuatu yang berlebihan", atau katanya lagi: "Alam berindak seolah-olah ia mengetahui konsekuensi perbuatannya". Teologi ini mencakup juga alam yang tidak hidup yang terdiri dari empat anasir api, udara, air dan tanah. Aristoteles mengatakan bahwa setiap anasir menuju ketempat kodratinya (locus naturalis). Berkaitan dengan jagat raya Aristoteles mengatakan bahwa kosmos terdiri dari dua wilayah yaitu wilayah sublunar (di bawah bulan) dan wilayah yang meliputi bulan, planet-planet dan bintang-bintang. Jagat raya berbentuk bola dan terbatas, tetapi tidak mempunyai permulaan dan kekal. Badan-badan jagat raya diluar bumi semua terdiri dari anasir kelima yaitu ether yang tidak dapat dimusnahkan dan tidak dapat berubah menjadi anasir lain. Gerak kodrati anasir ini adalah melingkar. Berkaitan dengan jagat raya ini Aristoteles mempunyai pandangan yang masyhur mengenai penggerak pertama yang tidak digerakkan.
2. Psikologi Menurut Aristoteles jiwa dan badan dipandang sebagai dua aspek dari satu substansi. Badan adalah materi dan jiwa dalam bentuk dan masing-masing berperan sebagai potensi dan aktus. Pada manusia, jiwa dan tumbuh merupakan dua aspek dari substansi yang sama yakni manusia. Anggapan ini mempunyai konsekuensi bahwa jiwa tidak kekal karena jiwa tidak dapat hidup tanpa materi. Potensi dan aktus juga mempunyai dalam pengenalan inderawi. Kita menerima bentuk tanpa materi. Pengenalan inderawi tidak lain adalah peralihan dari potensi ke aktus suatu organ tubuh dari aktus obyek. Sebagaimana proses pengenalan inderawi dalam pengenalan rasional bentuk tepatnya bentuk intelektual diterima oleh rasio. Bentuk intelektual ialah bentuk hakikat atau esensi suatu benda. Fungsi rasio dibagi menjadi dua macam yaitu rasio pasif (nus pathetikos) yang menerima esensi dan rasio aktif (nus poitikos) yang "membentuk" esensi
3. Metafisika Ta meta ta physica berarti hal-hal sesudah hak-hal fisis. Metafisika merupakan pengetahuan yang semata-mata berkaitan dengan tuhan dan fenomena yang terpisah dari alam. Di dalam Metaphysica-nya Aristoteles membahas Penggerak Utama. Gerak utama di jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun penghabisan. Karena setiap sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain perlulah menerima satu Penggerak Pertama yang menyebabkan gerak itu, tetapi ia sendiri tidak digerakkan. Penggerak ini sama sekali lepas dari materi, karena segalanya yang mempunyai meteri mempunyai potensi untuk bergerak. Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mempunyai potensi apapun juga dan Allah harus dianggap sebagai aktus murni. Allah bersifat immaterial atau tak badani, Ia harus disamakan dengan kesadaran atau pemikirannya. Karena itu aktifitas-Nya tidak lain adalah berpikir saja dan Allah merupakan pemikiran yang memandang pemikirannya. Allah sebagai penyebab final dari gerak jagat raya ini; segala sesuatu pengejar penggerak yang sempurna dan Ia menggerakkan karena dicintai. Ajaran lain dari Aristoteles adalah tentang filsafat praktis yaitu etika dan politika. Lanjut di sini. Dalam filsafat, Aristoteles disebut sebagai tokoh madzhab peripatis (peripatos, berjalan-jalan) yang menyadarkan diri pada deduksi untuk memperoleh kebijaksanaan. Sedangkan gurunya, Plato merupakan tokoh madzhab illuminasionis yang juga mengandalkan jalan hati, asketisme dan penyucian jiwa dalam menyingkap realitas.
Hukum-hukum Descartes
Dalam karyanya Discourse on Method, setelah mengkritik pendidikan yang masih didominasi oleh Scholasticism pada masa itu, ia memperkenalkan metode baru. Yang menurutnya harus menjadi dasar bagi seluruh pendidikan dan riset sains serta filsafat. Hukum-hukum tersebut adalah :
1. Untuk tidak menerima suatupun sebagai benar jika tidak secara rasional jelas dan dapat dibedakan;
2. Menganalisa ide-ide yang kompleks dengan menyederhanakannya dalam elemen yang konstitutif, dimana rasio dapat memahaminya secara intuitif;
3. Merekostruksi, dimulai dari ide yang simple dan bekerja secara sintetis ke bagian yang kompleks;
4. Membuat sebuah enumerasi yang akurat dan lengkap dari data permasalahan, menggunakan langkah-langkah baik induktif maupun deduktif..
Menurut Descartes ide tidak dating dari pengalaman, akan tetapi intelektual menemukan dalam dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa hanya ide-ide inilah yang valid dalam ranah realitas. Jadi 'ke-konkret-an' atau validitas obyek dari sebuah ide tergantung dari kejelasan dan pembedaan itu sendiri.
Metafisika Descartes
Metode Descartes dalam metafisika dimulai dari pencariannya atas segala sesuatu yang 'jelas' dan 'berbeda', dan dari sinilah dia memulai pemikiran deduktifnya. Untuk memulai dengan pijakan yang kuat dia memperkenalkan 'metode keraguan', keraguan yang akan menjadi titik awal datangnya kepastian. Keraguan ini berbeda dengan para skeptis yang ragu untuk tetap ragu. Premis awal yang disusun oleh Descartes adalah "Saya ragu" yang kemudian dilanjutkan dengan "Ketika seseorang ragu dia pasti berpikir". Dan dari sana muncul proposisi "Ketika saya berpikir maka saya ada" atau 'Cogito Ergo Sum'. Inilah yang menjadi landasan dari filsafat Descartes untuk menyatakan keberadaan Tuhan atau realitas primer (res cogitans).
Dalam membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes menggunakan tiga argument dasar yaitu : " "Cogito" telah memberikan kesadaran pada diriku sendiri atas keterbatasan diri dan ketidaksempurnaan keberadaan. Ini membuktikan bahwa aku tidak memberikan eksistensi pada diriku sendiri, dalam permasalahan tersebut, aku telah menyerahkan diriku pada sifat yang sempurna yang tidak kumiliki, dimana menjadi subyek yang diragukan.
“Aku memiliki Ide kesempurnaan : jika aku tidak memilikinya, aku tidak akan pernah tahu bahwa aku tidak sempurna. Sekarang darimanakan datangnya ide kesempurnaan tersebut ? tidak dari diriku sendiri, karena aku tidak sempurna dan kesempurnaan tidak datang dari yang tidak sempurna. Jadi datangnya dari Sesuatu yang Sempurna, yaitu Tuhan.
Analisis daqri ide kesempurnaan melibatkan eksistensi dari Keberadaan yang Sempurna, bagai sebuah lembah yang termasuk dalam ide sebuah gunung, maka eksistensi juga termasuk dalam ide kesempurnaan tersebut. Hal ini merupakan pembeda antara filsafat sebelum Descartes atau filsafat klasik dan filsafat modern. Dari Descartes filsafat dituntut dari 'ilmu keberadaan' (science of being) menuju 'ilmu pemikiran' (science of thought/epistimologi). Di mana filsafat ini lebih di dalami oleh Kant dan filsuf idealisme lainnya. Karena pijakannya yang menggunakan rasio daripada pengalaman empiris maka Descartes dikenal sebagai filsuf rasionalis daratan bersama dengan Spinoza, dan Leibniz. Sementara tidak jauh dari jamannya dan tempatnya muncul tiga filsuf yang dikenal sebagai empiris-anglo saxon yaitu : Locke, Berkeley, dan Hume. Dunia menurut Descartes mempunyai karakterisasi sebagai perpanjangan (res extensa), yang tidak terbatas. Dalam perpanjangan ini, kekuatan Tuhan menempati kekuatan atau gaya dan pergerakan, yang ditentukan oleh prinsip kausalitas absolut. "Dunia adalah sebuah mesin besar", dunia anorganik, tumbuhan, binatang, dan bahkan manusia, sepanjang tubuhnya yang menjadi perhatian, adalah mesin yang diperintah oleh hukum pergerakan kausalitas.
Kritik terhadap Filsafat Descartes
Filsafat rasionalis Descartes yang mengandalkan rasionalitas mengabaikan pengalaman empiris sebagai dasar kebenaran, hal inilah yang ditolak oleh filsuf empirisme, yang pada waktu hampir bersamaan tumbuh di Inggris. Filsafat empirisme mengatakan bahwa bukanlah rasio yang menyusun kebenaran, akan tetapi pengalamanlah yang nantinya membawa manusia dalam kebenaran. John Locke, salah satu filsuf empirisme mengatakan bahwa manusia itu seperti tabula rasa yaitu kertas putih yang nantinya akan ditulisi dengan pengalamannya di dunia nyata.
Dan inilah yang bertolak belakang dengan filsafat rasionalisme terutama Descartes. Setelah empirisme kritik timbul dari Spinoza, salah satu filsuf rasionalis yang berada di Belanda. Dengan pantheismenya dia membantah dualisme antara pemikiran dan tubuh yang dikemukakan oleh Descartes. Kritik yang sangat tajam justru disampaikan oleh Kant dalam karyanya "Critique of Pure Reason", di sini kant mengatakan bahwa kebenaran tidak dating dari rasio murni atau empiris murni melainkan gabungan dari keduanya yang dibedakan atas a priori dan a posteriori. Beberapa yang masih menjadi perdebatan tentang filsafat Descartes adalah metodenya yang meragukan segala sesuatu. Dari keragu-raguannya yang meragukan segala hal bahkan dia hamper mengatakan bahwa semuanya salah, dia mengajukan premis di mana dia memiliki ide tentang Tuhan sebagai keberadaan sempurna.
Problematika ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan hangat. Yang menjadi sorotan adalah inkonsistensi yang dilakukan Descartes dalam metodenya. Ketika menyatakan bahwa segalanya diragukan, pada saat yang sama dia memakai anggapan-anggapan rasio umum dan secara terus-menerus dia pergunakan. Seperti dalam 'Cogito Ergo Sum' yang menggunakan kontradiksi ini, dimana Descartes menempatkan 'berpikir' dan 'ragu' sebagai bukti keberadaannya atau eksistensinya. Karena pada pokoknya Descartes berpikiran bahwa tidak mungkin berpikirdan tidak berpikir atau eksis dan tidak eksis dapat terjadi bersamaan.
Seharusnya ketika dia meragukan segalanya berpikir dan tidak berpikir atau eksis dan tidak eksis bisa saja terjadi dalam waktu yang bersamaan. Sehingga pernyataan nya tentang 'Cogito Ergo Sum' tidak memiliki nilai obyektif yang real. Kontradiksi pada pemikiran Descartes ini berakibat munculnya hasil yang ganda dalam setiap karya filsafatnya. Seperti dalam pembuktian keberadaan Tuhan, sekaligus Descartes membuktikan bahwa eksistensi Tuhan itu sendiri tidak mungkin. Karena dengan metode keraguan yang menjadi landasan berpikirnya, maka seluruh karya filsafatnya diragukan secara fundamental dan inkonsisten. Ketertarikannya pada alat mekanik pada waktu itu membuat Descartes sangat terinspirasi oleh cara kerja alat-alat tersebut sehingga dia pun mengatakan bahwa dunia merupakan sebuah mesin besar yang bergerak di bawah hukum-hukum pergerakan kausalitas universal.
Efek dari filsafatnya ini adalah termekanisasikannya seluruh aspek hidup manusia yang kemudian hari dikritik oleh para pemikir postmodern seperti Foucault, Lyotard, dan Marcuse. Akan tetapi dari semua kelemahan yang ditemukan dalam karyanya tersebut, Descartes merupakan pionir dalam filsafat modern yang berjasa bagi tumbuh berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat modern.
E. Cabang-Cabang Filsafat
Telah kita ketahui bahwa filsafat adalah sebagai induk yang mencakup semua ilmu khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu khusus itu satu demi satu memisahkan diri dari induknya, filsafat. Mula-mula matematika dan fisika melepaskan diri, kemudian diikuti oleh ilmu-ilmu lain. Adapun psikologi baru pada akhir-akhir ini melepaskan diri dari filsafat, bahkan di beberapa insitut, psikologi masih terpaut dengan filsafat.
Setelah filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu khusus, ternyata ia tidak mati, tetapi hidup dengan corak baru sebagai 'ilmu istimewa' yang memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Yang menjadi pertanyaan ialah : apa sajakah yang masih merupakan bagian dari filsafat dalam coraknya yang baru ini? Persoalan ini membawa kita kepada pembicaraan tentang cabang-cabang filsafat.
Ahi filsafat biasanya mempunyai pembagian yang berbeda-beda. Coba perhatikan sarjana-sarjana filsafat di bawah ini:
1. De Vos menggolongkan filsafat sebagai berikut: metafisika, logika, " ajaran tentang ilmu pengetahuan, filsafat alam, filsafat, sejarah, etika, estetika, dan antropologi.
2. Prof. Albuerey Castell membagi masalah-masalah filsafat menjadi enam bagian, yaitu: masalah teologis, masalah metafisika, masalah epistomologi, masalah etika, masalah politik, dan masalah sejarah.
3. Dr. Richard H. Popkin dan Dr Avrum Astroll dalam buku mereka, Philosophy Made Simple, membagi pembahasan mereka ke dalam tujuh bagian, yaitu: Section I Ethics, Section II Political Philosophy, Section III Metaphysics, Section IV Philosophy of Religion, Section V Theory of Knowledge, Section VI Logics, Secton VII Contemporary Philosophy,
4. Dr. M. J. Langeveld mengatakan: Filsafat adalah ilmu Kesatuan yang terdiri atas tiga lingkungan masalah: lingkungan masalah keadaan (metafisika manusia, alam dan seterusnya), lingkungan masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori pengetahuan, logika), lingkungan masalah nilai (teori nilai etika, estetika yang bernilai berdasarkan religi)
5. Menurut Aristoteles, murid Plato, mengadakan pembagian secara kongkret dan sistematis menjadi empat cabang, yaitu:
a. Logika. Ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.
b. Filsafat teoretis. Cabang ini mencangkup: ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata ini, ilmu matematika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu dalam kuantitasnya, ilmu metafisika yang mempersoalkan hakikat segala sesuatu. Inilah yang paling utama dari filsafat.
c. Filsafat praktis. Cabang ini mencakup: ilmu etika yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perseorang, ilmu ekonomi yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran di dalam negara.
d. Filsafat poetika (Kesenian).
Pembagian Aristoteles ini merupakan permulaan yang baik sekali bagi perkembangan pelajaran filsafat sebagai suatu ilmu yang dapat dipelajari secara teratur. Ajaran Aristoteles sendiri, terutama ilmu logika, hingga sekarang masih menjadi contoh-contoh filsafat klasik yang dikagumi dan, dipergunakan.
Walaupun pembagian ahli yang satu tidak sama dengan pembagian ahli-ahli lainnya, kita melihat lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Dari pandangan para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat dalam coraknya yang baru ini mempunyai beberapa cabang, yaitu metafisika,logika, etika, estetika, epistemologi, dan filsafat-filsafat khusus lainnya.
1. Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.
2. Logika: filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah.
3. Etika: filsafat tentang perilaku yang baik dan yang buruk.
4. Estetika: filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek.
5. Epistomologi: filsafat tentang ilmu pengetahuan.
6. Filsafat-filsafat khusus lainnya: filsafat agama, filsafat manusia, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya.
Seperti telah dikatakan, ilmu filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Yang ditujunya ialah mencari hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika), berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika). Maka persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki (asli) atau palsu (maya). Dari tinjauan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam tiap-tiap pembagian sejak zaman Aristoteles hingga dewasa ini lapangan-lapangan yang paling utama dalam ilmu filsafat selalu berputar di sekitar logika, metafisika, dan etika.
BAB II
PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN
A. Mengapa Manusia Dapat Mengembangkan Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu. Pengetahuan bewrmacam-macam jenis dan sifatnya, ada yang langsung dan ada yang tidak langsung, bersifat berubah-ubah, subyektif, dan khusus, tetap, obyektif dan umum. Jenis dan sifat pengetahuan ini tergantung kepada sumbernya dan dengan cara dan alat apa pengetahuan itu diperoleh.
Ingin Tahu adalah Kodrat Manusia
Keinginan atau kemauan (will) merupakan salah satu unsur kekuatan kejiwaan manusia. Keinginan merupakan bagian integral dari tri potensi kejiwaan (cipta/rationale, rasa/emotion, karsa/kemauan/keinginan/will). Dimana ketiganya berada dalam satu kesatuan yang utuh dan bekerja saling melengkapi. Potensi karsa inilah yang menjadi dorongan rasa ingin tahu itu muncul dan berkembang.
Rasa keingintahuan manusia ternyata menjadi titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesa awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkungan.
Kemudian dirumuskanlah sebuah teori pengetahuan, dimana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir sebuah konsep yang dinamakan ilmu. Pengembangan ilmu terus dilakukan, akan tetapi disisi lain pemuasan dahaga manusia terhadap rasa keingintahuannya seolah tak berujung dan menjebak manusia ke lembah kebebasan tanpa batas. Oleh sebab itulah, dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Karena kenetralan ilmu pengetahuan hanyalah sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya diperlukan adanya nilai-nilai moral.
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Satu contoh ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Adapun nilai dalam hal ini merupakan tema baru dalam filsafat: Aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Penemuan ini merupakan salah satu penemuan yang terpenting dalam filsafat, secara mendasar mengandung arti pembedaan antara ada (being)dengan nilai (value), baik pada zaman kuno maupun pada zaman modern. Orang tanpa menyadarinya telah menempatkan nilai dibawah ada dan mengukur keduanya dengan tolak ukur yang sama. Dewasa ini, penelitian terhadap berbagai nilai yang terisolasi ini menemukan makna baru manakala orang mencatat bukan hanya jalinan yang lembut yang mengikatnya menjadi satu, namun juga sinar yang mengarahkan semua riset atas hakikat nilai dalam proses pengkajian masing-masing kawasan ini sebagai satu keseluruhan. Oleh karena, itu maka etika dan estetika serta warisan filsafat kuno, belakangan ini melangkah jauh ke arah peningkatan kemampuan untuk mengkaji nilai sebagaimana adanya.
Dalam pembahasan nilai ini, akan dibahas masalah nilai, etika, dan estetika yang merupakan bagian dari aksiologi (nilai ilmu).
Pengertian Nilai
Nilai secara etimologi berasal dari kata value (inggris) yang berasal dari velere (latin) yang mempunyai arti kuat, baik, dan berharga. Nilai adalah suatu yang berharga, baik, dan berguna bagi manusia. Nilai dapat diartikan suatu penghargaan atau suatu kualitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia.
Pengertian ilmu pengetahuan
Ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatuan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek tertentu.
Ilmu pengetahuan diambil dari kata science (bahasa inggris) yang diberasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja scinre yang berarti mempelajari, mengetahui. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyek. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Dalam “Epistimologi Indonesia”, kita jumpai pengertian sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan, suatu sistem dari pengetahuan dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi,deduksi).
Ilmu pengetahuan mempunyai dua jenis yaitu :
1. Pengetahuan non ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah.
2. Pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang di peroleh dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
Teori Tentang Nilai
Aksiologi difahami sebagai teori nilai, Sedangkan nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda dan benda itu sendiri merupakan sesuatu yang bernilai, kemudian ketidaktergantungan ini mencakup setiap betuk empiris. Nilai merupakan satu jenis obyek yang sama sekali tidak dimasuki oleh rasio tetapi dengan demikian nilai menyatakan diri melalui perpsepsi sentimental dalam referensi cinta benci.
Dalam rangka menunjukkan makna yang mendalam dari pemahaman nilai dengan menggunakan sarana persepsi sentimental telah diterapkan perian fenomenologis atas kehidupan emosional yang memungkinkan baginya untuk memberikan berbagai tingkat dunia emosional yang tidak biasa dibedakan dengan jelas faktanya bahwa hakikat nilai menyatakan diri kepada kita dalam intuisi emosional.
Adapun salah satu ciri khas yang hakiki dari nilai adalah penampakannya dalam urutan hierarkis sekalipun bagi orang yang menerima dengan tanpa mempersoalkan kebenaran dari proposisiini adalah sulit untuk menentukan kriteria mana yang harus dipakai untuk menentukan hierarki. Jelas bahwa kriteria empiris tidak dapat digunakan, kriteria tersebut dapat mengatakan seperti apa tebal hierarkis sebuah masyarakat atau bangsa. Namun tidak dapat mengatakan apakah tebal ini harus ada. Scheler percaya bahwa nilai itu tersusun dalam sebuah hubungan hearkis a priori. Akan tetapi hiearki baginya harus di temukan di dalam hakikat nilai itu sendiri.
Hakikat Nilai
1. Nilai berasal dari kehendak: voluntarisme.
2. Nilai berasal dari kesenangan: Hedonisme
3. Nilai berasal dari kepentingan. (Perry)
4. Nilai berasal dari hal yg lebih disukai (preference). Martineau.
5. Nilai berasal dari kehendak rasio murni. (I.Kant).
Etika
1. Pengertian etika
Etika secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminiologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk.
Ruang lingkup etika meliputi bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik dan bagaimana caranya untuk berbuat baik serta keburukan.
Etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan,apa adanya, tidak memberikan penilaian tidak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah.
Adapun etika normatif sudah memberikan penilaian mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak. Etika normative dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan tentang prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan dari prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.
Pembagian etika yang lain adalah etika individual dan etika sosial. Etika individual membicarakan perbuatan atau tingkah laku manusia sebagai individu. Misalnya tujuan hidup manusia. Etika sosial membicarakan tingkah laku atau perrbuatan manusia dalam hubungannya dengan orang lain. Misalnya baik atau buruk dalam keluarga, masyarakat dan Negara.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehati-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Obyek etika menurut Franz Magnis Suseno adalah pernyataan moral apabila diperiksa segala jenis moral, pada dasarnya hanya dua macam, yaitu pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyatan tentang manusia sendiri atau tentang unsure-unsur kepribadian manusia seperti motif-motif, maksud atau watak.
2. Aspek etika ilmu pengetahuan
Manusia sebagai manipulator dan articulator dalm mengambil manfaat ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dai freud yang dikenal dengan nama ”id”,”ego” dan”super-ego”. “Id” adalah kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dan agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instik: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “ Ego” adalah penyelaras antara”Id”dan realita dunia luar.”super-ego”adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (Jalaluddin Rahmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dakam pertrungan antara in dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego idak berfungsi optimal, maka tentu-atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan- amatlah tidak mungkin kebaikan diperoleh manusia,atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan id dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh kerena itu, pada tingkat ksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab mansia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalm penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia, ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Disinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pemahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral, etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiaban itu. Dengan argument bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh kerena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (baca:executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau buruk, yang baik itulah materi kewajiban executor dalam situasi ini.
3. Persamaan dan perbedaan etika dengan etiket
Persamaan etika dan etiket adalah :
• Menyangkut perilaku manusia, jadi hewan tidak mengenal etika dan etiket.
• Mengatur perilaku manusia dan secara normative, artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Menurut Bertens ada empat perbedaan yang sangat penting antara etika dan etiket. Yaitu:
a. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia. Sedangkan etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
b. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, apabila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Sedangkan etika selalu berlaku walupun tidak ada saksi mata.
c. Etiket bersifat relative, yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan yang lain. Sedankan etika lebih absolut, prinsip-prinsipnya tidak bisa ditawar-tawar.
d. Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriyah saja. Sedangkan etika menyangkut manusia dari segi dalam.
Estetika
Estetika dari bahasa yunani aesthesis atau pengamatan adalah cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari keindahan, bentuk- bentuk pengalaman keindahan, diselidiki emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah , agung , tragis , bagus , mengharukan dan sebagainya.
Dalam estetika di bedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menggambarkan gejala gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mecari dasar pengalaman itu .
Perbedaan lain dari estetika adalah esteti filsafati dengan esteti ilmiah definisi estetika merupakan suatu persoalan filsafat yang sejak dulu sampai sekarang cukup di perbincangkan para filsuf dan diberikan jawaban yang berbeda-beda perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran yang dikemukakan.
The Liang Gie merumuskan sasaran-sasaran itu sebagai berikut :
1. Keindahan
2. Keindahan dalam alam dan seni
3. Keindahan khusus pada seni
4. Keindahan ditambah seni
5. Seni ( segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni)
6. Citra rasa
7. Ukuran nilai baku
8. Keindahan dan kejelekan
9. Nilai non moral ( nilai estetis )
10. Benda estetis
11. Pengalaman estetis . ( the liang gie , 1983 , hlm . 20 – 21 )
Estetis filsafat adalah estetis yang menelaah sasararanya secara filsafat dan sering disebut estetis tradisional. Estetetis filasafat ada yang menyebut estetis analisis, karena tugasnya hanyalah mengurai.
Estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode metode ilmiah , yang tidak lagi merupakan cabang filsafat pada abad xx. Estetis modern untuk membedakannya dengan estetis tradisional yang bersifat filsafati.
Kesimpulan
Aksiologi difahami sebagai teori nilai, Sedangkan nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda dan benda itu sendiri merupakan sesuatu yang bernilai, kemudian ketidaktergantungan ini mencakup setiap betuk empiris.
Aksiologi memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma nilai. Bagaimana mengaitkan nilai ilmu ilmu pengetahuan dengan etika dan estetika.
B. Bagaimana Manusia Dapat Mengembangkan Pengetahuan yang Benar
Cara Mencapai Kebenaran
Dalam sejarah kehidupan, manusia selalu berusaha untuk mencari kebenaran. Dan sepanjang sejarah itu pula perdebatan mengenai arti dan cara mencapai kebenaran diperdebatkan.
1. Zaman Yunani Kuno
Diawali oleh Socrates ( ± 469-399) sebagai tokoh yang patut disebut mengawali pembicaraan mengenai kebenaran. Meskipun tidak secara langsung berbicara mengenai kebenaran ilmiah, tetapi ia tidak menyetujui relativitas yang terdapat pada kaum sophis. Menurutnya terdapat kebenaran objektif, ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang tidak baik; ada tidakan yang pantas dan ada yang tidak pantas. Socrates telah meletakkan dasar bagi berkembangnya gagasan tentang adanya kebenaran.
Pendapat Socrates dilanjutkan oleh Plato (427-322 SM). Menurut Plato kebenaran merupakan ketak-tersembunyian adanya. Hal ini berarti selama kita masih terikat pada yang ada (the being) saja tanpa masuk adanya dari yang ada itu kita belum berjumpa dengan kebenaran, oleh karena adanya (being) itu masih tersembunyi. Barulah dengan hilangnya atau diambilnya selubung yang menutup adanya dari yang ada itu terhadap mata batin kita, maka terbukalah adanya dan serentak dengan itu tampillah kebenaran.
Aristoteles (384-322) lebih melihat kebenaran dari cara yang dipakai pengenal melalui suatu sistem berfikir ilmiah yang dikenal dengan logika. Berkaitan dengan ini, Aristoteles mengemukakan bahwa cara berfikir ilmiah itu terdiri dari pengertian, pertimbangan, dan penalaran. Menurutnya, pengertian mengungkapkan adanya 10 kategori yaitu substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, menderita. Segala pengertian dapat digabungkan sehingga membentuk suatu pertimbangan. Dengan pertimbangan tersebut dapat digabungkan sehingga menghasilkan silogisme.
2. Zaman Abad Pertengahan
Tokoh yang patut disebut dalam abad pertengahan ini adalah Thomas Aquinas (1224-1274). Thomas Aquinas mendefinisikan kebenaran sebagai “adequatio rei et intellectus” yaitu kesesuaian, kesamaan pikiran dengan hal dan benda. Oleh karena itu, kebenaran merupakan istilah transendental yang mengena kepada semua yang ada; dalam arti tertentu kebenaran bukanlah suatu pernyataan tentang cara hal-hal berada tetapi melulu hal-hal itu sendiri.
Pada zaman abad pertengahan ini kita tidak bisa melupakan para filsuf Arab seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Al-Ghazaly. Mereka telah menyebarkan filsafat Aristoteles ke Cordova Spanyol dan kemudian diwariskan serta dikembangkan oleh para kaum Patristik dan Skolastik di dunia barat.
3. Zaman Modern
Pada zaman modern ini diwarnai dengan timbulnya aliran-aliran tentang perolehan ilmu pengetahuan atau kebenaran ilmiah. Diantaranya adalah Rasionalisme, Empirisme dan Kritisisme. Tiga tokoh besar yang mewakili ketiga aliran tersebut adalah Rene Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant.
a. Aliran Rasionalisme
Aliran rasionalisme ini secara luas merupakan pendekatan filosofis yang menekankan adanya akal budi atau rasio sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Peletak dasar dari aliran ini adalah Rene Descarte (1596-1650). Menurut Descartes, cara untuk membedakan ada tidaknya kebenaran adalah ada tidaknya ide yang jelas dan terpilah-pilah mengenai sesuatu (idea clara et distincta). Akibat pernyataan itu lebih lanjut adalah isi ide yang jelas dan terpilah-pilah itu menjadi benar, sehingga kebenaran disamakan dengan idea tersebut. Idea itu pertama-tama terdapat dalam subjek pengetahuan, maka kebenaran-pun demikian, tanpa ada hubungan dengan dunia luar, maka kebenaran hanya sebagai suatu kesimpulan dari adanya kebenaran dalam idea tersebut. Terwujudnya kebenaran ditegaskan sebagai suatu kenyataan.
b. Aliran Empirisme
David Hume – sebagai tokoh peletak dasar bagi empirisme – menolak rasionalisme, mengatakan bahwa pengenalan sejati berasal dari rasio. Sanggahan Hume ini secara konsekuen terdapat dalam penjelasannya tentang tidak adanya substansi dalam kesadaran kita. Baginya kesatuan ciri-ciri yang disebut substansi oleh rasionalisme hanyalah fiksi, sekumpulan kesan-kesan (a bundle of collection of perception), substansi hanyalah sekumpulan persepsi saja. Menurutnya hakekat ide-ide itu selalu empiris.
Aliran empirisme secara umum merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan baik pengalaman lahiriyah atau batiniyah. Informasi yang disajikan kepada kita berguna secara fundamental sebagai ilmu pengetahuan. Akal budi tidak dapat memberikan kepada kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita.
c. Aliran Kritisisme
Immanuel Kant adalah peletak dasar dari aliran kritisisme. Dalam arti luas, kritisisme merupakan sebuah epistemologi yang menempatkan akal budi sebagai nilai yang amat tinggi tetapi akal budi memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, Kant mencoba mendamaikan rasionalisme dengan empirisme dengan berpendapat bahwa pengetahuan bersifat sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme merupakan sintesis dari pengamatan ruang dan waktu. Kemudian pengetahuan akal merupakan sintesis pengetahuan. Implikasinya yang dihasilkan bukanlah pengetahuan das ding an sich, untuk itu rasio dan akal budi memberi arah kepada akal ketika tidak mampu mengetahuinya. Kant menyebutnya sebagai idealisme transdental atau idealiseme kritis.
d. Aliran Positivisme
Abad ke-19 dapat diakatakan sebagai abad positivisme, dengan tokohnya Auguste Comte (1798-1857), karena pengaruh aliran ini demikian kuatnya dalam dunia modern. Filsafat menjadi praktis bagi tingkah laku manusia, sehingga tidak lagi memandang penting berfikir yang bersifat abstrak.
Positivisme kata kuncinya terletak pada kata positif itu sendiri yaitu lawan dari kahayal, merupakan sesuatu yang riil dan objek penyelidikannya didasarkan pada kemampuan akal. Kata positif juga lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan disinilah terjadi progress (kemajuan). Positif juga berarti jelas dan tepat. Disinilah diperlukan filsafat yang mampu memberi atau membeberkan fenomena dengan tepat dan jelas. Positif juga lawan dari kata negatif dan ada keterkaitan selalu dengan masalah yang menuju kepada penataan atau penertiban.
Penggolongan ilmu pengetahuan oleh Comte didasarkan kepada sejarah ilmu itu sendiri yang menunjuk adanya gejala yang umum yang mempunyai sifat sederhana menuju kepada gejala yang komplek dan semakin konkret. Ilmu-ilmu yang dimaksud adalah ilmu pasti (matematika) dan secara berturut-turut astronomi, fisika, kimia, biologi, dan akhirnya fisika sosial atau sosiologi.
Penggolongan tersebut menyaratkan adanya perkembangan ilmu yang lambat dan cepat. Yang paling cepat perkembangannya adalah yang sederhana dan umum objeknya. Dan ada yang paling lambat perkembangannya adalah yang paling kompleks objek permasalahannya, misalnya fisika sosial.
Sejarah manusia berkembang menurut tiga tahap yaitu:
1. Tahap Teolohi atau Fiktif
Tahap dimana manusia menggambarkan fenomena alam sebagai produk dari tindakan langsung, hal yang berifat supranatural. Pada tahap ini manusia mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada dengan selalu mengkontekstualisasikan dengan hal yang sifatnya mutlak.
2. Tahap Metafisik
Tahap dimana kekuatan-kekuatan supranatural digantikan oleh kekuatan yang bersifat abstrak, yang dipercaya mampu mengungkapkan rahasia fenomena yang dapat diamati. Dogma-dogma telah ditinggalkan dan kemampuan akal budi manusia dikembangkan secara maksimal, sehingga kekuatan yang bersifat magis digantikan dengan analisis berfikir untuk membedakan yang natural dan supranatural, yang fisik dan metafisik sehingga manusia berperan sebagai subjek yang berjarak dengan objek. Comte menggambarkan sebagai tahap perkembangan manusia dari sifat ketergantungan menuju sifat mandiri atau dewasa. Tahap ini merupakan masa peralihan yang penuh konflik dan merupakan tahap yang menentukan menuju tahap positivisme.
3. Tahap Postivisme
Pada tahap ini, orang mulai menoleh, mencari sebab-sebab terakhir dari kejadian alam, kemudian berubah kepada penemuan hukum-hukum yang menyelimuti dengan menggunakan pengamatan dan pemikiran. Tahap ini merupakan tahap science dengan tugas pokok memprediksi fenomena alam dalam rangka memanfaatkannya. Manusia telah sampai pada pengetahuan yang positif yang dapat dicapai melalui observasi, eksperimen, komparasi dan hukum-hukum umum. Pengetahuan yang demikian menunjuk pada pengetahuan yang pasti, riil, jelas dan bermanfaat.
Comte dengan ilmu pengetahuan positifnya, yang pada tahap akhir perkembangan akal budi manusia menjadi pedoman hidup dan landasan kultural, institusional dan kenegaraan untuk menuju masyarakat yang maju dan tertib, merdeka dan sejahtera. Bangunan ilmu pengetahuan positif itu adalah sebagai berikut:
1. Asumsi Pertama
Ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral). Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak, pihak subjek dan objek. Pada pihak subjek seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya sentimen, penilaian etnis, kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan agama, filsafat dan lain sebagainya yang bisa mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diamati.
Pada pihak objek, aspek-aspek dan dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditolerir keberadannya. Laporan atau teori-teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang dapat diobservasi saja.
2. Asumsi Kedua
Ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulangkali terjadi. Andaikata ilmu pengetahuan hanya diarahkan kepada hal-hal unik, yang hanya sekali saja terjadi, maka pengetahuan itu tidak dapat membantu kita untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal ramalan atau prediksi merupakan suatu tujuan terpenting ilmu pengetahuan.
3. Asumsi ketiga
Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan antar hubungannya dengan fenomena-fenomena lain. Mereka diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Perhatian ilmuwan bukan diarahkan kepada hakekat dari gejal-gejala, melainkan pada relasi-relasi luar khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda, gejala-gejala atau kejadian-kejadian.
Usaha Comte untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat positif, objektif, ilmiah, dan universal pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti, dan studinya yang mendalam tentang hal ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai tingkat kebenaran yang tertinggi, bebas dari penilaian-penilaian subjektuf dan berlaku universal. Oleh sebab itu suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai dengan pertimbangan ilmu pasti (matematika dan statistika) adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu pasti ilmu pengetahuan akan kembali menjadi metafisika.
C. Darimana Manusia Memperoleh Pengetahuan
Di dalam masyarakat sering dijumpai orang-orang yang dianggap “tahu” dan memiliki kemampuan menyelesaikan berbagai masalah misalnya: masalah X. andaikan di antara orang-orang itu ada yang bernama Si-A dan Si-B. ternyata kemampuan Si-A dan Si-B dalam menyelesaikan masalah X tersebut tidak sama. Perbedaannya terletak pada cara memecahkannya. Demikianlah, mereka berdua telah berusaha menemukan kebenaran. Cara untuk menemukan kebenaran berbeda-beda. Kiranya cara itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: cara penemuan kebenaran yang non ilmiah dan cara penemuan yang ilmiah.
1. CARA PENEMUAN KEBENARAN NON ILMIAH
Upaya untuk menemukan kebenaran yang nonilmiah dapat terlaksana dengan berbagai cara, di antaranya ialah:
a. Penemuan Secara Kebetulan.
Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan yang berlangsung disengaja. Dalam sejarah manusia, penemuan secara kebetulan itu banyak juga yang berguna walaupun terjadinya tidak dengan cara yang ilmiah, tidak disengaja, dan tanpa rencana. Cara ini tidak dapat diterima dalam metode untuk menggali pengetahuan atau ilmu.
b. Penemuan “coba dan ralat” (trial and error).
Penemuan “coba dan ralat” terjadi tanpa adanya kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari itu. Memang ada aktivitas mencari kebenaran, tetapi aktivitas itu mengandung unsur spekulatif atau “untung-untungan”.
Penemuan dengan cara ini kerap kali memerlukan waktu yang lama, karena memang tanpa rencana, tidak terarah, dan tidak diketahui tujuannya. Cara “coba dan ralat” ini pun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam usaha untuk mengungkapkan kebenaran.
c. Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan.
Pendapat orang-orang yang memiliki kewibawaan, misalnya: orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah. Pendapat itu tidak berarti tidak ada gunanya. Pendapat itu tetap berguna, terutama dalam merangsang usaha penemuan baru bagi orang-orang yang menyangsikannya. Namun demikian ada kalanya pendapat itu ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian pendapat pemegang otoritas itu bukanlah pendapat yang berasal dari penelitian, melainkan hanya berdasarkan pemikiran yang diwarnai oleh subjektivitas.
d. Penemuan Secara Spekulatif.
Cara ini mirip dengan cara coba dan ralat. Tetapi perbedaannya dengan coba dan ralat memang ada. Seseorang yang menghadapi suatu masalah yang harus dipecahkan pada penemuan secara spekulatif, mungkin sekali ia membuat sejumlah alternatif pemecahan kemudian ia mungkin memilih satu alternatif pemecahan, sekalipun ia tidak yakin benar mengenai keberhasilannya. Ia berspekulasi atas kemungkinan yang dipilihnya itu dengan dipandu oleh “kira-kira”. Bagi seseorang yang memiliki pandangan yang tajam, boleh jadi alternatif itu dapat menunjukkan adanya kebenaran yang dicapai melalui spekulasi itu. Meskipun begitu, spekulasi tersebut belum juga memberikan kepastian akan berhasilnya ditemukan kebenaran. Oleh karena itu, kemungkinan gagal akan lebih besar daripada berhasil.
e. Penemuan Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional.
Telah banyak kebenaran yang dicapai oleh manusia sebagai hasil upayanya menggunakan kemampuan berpikirnya. Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk sampai pada pemecahan yang tepat. Cara berpikir yang ditempuh untuk sampai pada tingkat permulaan dalam memecahkan masalah ialah dengan (a) cara berpikir analitik dan (b) cara berpikir sintetik.
Cara Berpikir Analitik
Cara berpikir analitik ialah cara berpikir deduktif. Untuk mencapai pengetahuan yang benar, cara deduktif menggunakan silogisme sebagai alat. Silogisme ialah suatu argumentasi yang terdiri dari tiga buah proposisi atau pernyataan yang membenarkan atau menolak suatu perkara. Dua proposisi yang ketiga disebut Simpulan atau Konklusi. Konklusi pada dasarnya merupakan konsekuensi dari kedua premis yang terdahulu.
Beberapa jenis silogisme beserta contohnya adalah sebagai berikut :
(1) Silogisme Kategorik
Semua manusia bakal mengalami mati (premis mayor)
Seniman adalah manusia (premis minor)
Jadi seniman bakal mengalami mati (konklusi)
Dengan ringkas silogisme tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut :
Silogisme kategorik: Semua P adalah Q
P1 adalah P
Jadi: P1 adalah Q
(2) Silogisme Kondisional (bersyarat)
Jika sandiwara itu dipentaskan di lapangan terbuka, penontonnya berlimpah.
Sandiwara itu di lapangan terbuka.
Jadi penontonnya berlimpah.
Ringkasnya adalah sebagai berikut:
Silogisme Kondisional:
Jika P dalam keadaan Q, maka akan terjadi R.
P1 sekarang dalam keadaan Q.
Jadi: P1 akan mengalami R.
(3) Silogisme Pilihan (alternatif)
Harun akan menikah setelah tamat atau kembali ke kampung.
Setelah tamat Harun menikah.
Jadi Harun tidak kembali ke kampung.
Ringkasnya adalah sebagai berikut:
Silogisme Alternatif:
P harus memilih Q atau R.
(Q dan R tidak terjadi serempak)
P1 memilih R
Jadi P1 tidak mungkin memilih Q.
(4) Silogisme Disjungtif (melerai)
Bagi seorang mahasiswa, baik yang belajar tekun maupun yang tidak belajar sama sekali, tidaklah mungkin begitu saja mendapat nilai yang terbagus.
Ada seorang mahasiswa yang sama sekali tidak belajar.
Jadi tidak mungkin begitu saja ia mendapat nilai yang terbagus.
Singkatnya ialah sebagai berikut:
Silogisme Disjungtif:
Tidak mungkin P yang sedang dalam keadaan R bakal menjadi Q.
P dalam keadaan R.
Jadi tidak mungkin P bakal menjadi Q.
Cara Berpikir Sintetik
Cara berpikir sintetik adalah cara berpikir induktif yang simpulannya diharapkan berlaku umum untuk kelompok/jenis, dan peristiwa atau yang diharapkan agar kasus yang bersifat khusus atau individual masuk ke dalam wilayah kelompok/jenis yang dikenai simpulan.
Di bawah ini dikemukakan cara berpikir jenis induksi.
(1) Induksi Komplet
P1 penduduk desa A, adalah petani.
Qi penduduk desa A, adalah petani.
R1 penduduk desa A, adalah petani.
S1 penduduk desa A, adalah petani.
Y1 penduduk desa A, adalah petani.
Z1 penduduk desa A, adalah petani.
Jadi semua penduduk (P sampai Z) yang mendiami desa A, adalah petani.
(2) Induksi Sistem Bacon
Francis Bacon, ahli empirisme, dengan tegas menolak cara berpikir deduksi. Ia menganjurkan agar dalam usaha menarik simpulan yang berlaku umum, orang hendaknya bertolak dari hasil observasi untuk menentukan ciri-ciri gejala yang dihadapinya. Ia mengemukakan bahwa ada tiga jenis pencatatan ciri sebagai berikut:
Pencatatan ciri positif, yaitu pencatatan terhadap peristiwa yang kondisinya dapat dipastikan menimbulkan gejala;
Pencatatan ciri negatif, yaitu pencatatan terhadap peristiwa yang kondisinya tidak memunculkan gejala;
Pencatatan variasi gejala, yaitu pencatatan mengenai ada atau tidak adanya perubahan gejala pada kondisi yang berubah-ubah atau diubah-ubah.
D. Apakah Pengetahuan yang Benar
Ilmu pengetahuan merupakan suatu sistem yang dikembangkan manusia mengenai keadaannya dan lingkungannya serta menyesuaikan diri dengan lingkungannya, menyesuaikan lingkungan dengan dirinya dalam rangka strategi hidupnya. Sedangkan teknologi merupakan konsekuensi lebih lanjut dari penerapan ilmu, baik ilmu yang modern atau folk science.
Ilmu yang dikenal dewasa ini merupakan produk perkembangan peradaban manusia. Akar ilmu telah ditemukan jauh sebelum munculnya peradaban. Ilmu memiliki dua sumber akar sejarah, yaitu:
1. Tradisi teknik, yang melalui tradisi ini pengalaman praktis dan ketrampilan dikembangkan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
2. Tradisi spiritual, yang merupakan pemindahan dan perluasan aspirasi ide-ide manusia. Perkembangan ilmu kemudian menjadi otonom, mengandung unsur-unsur praktis dan teoritis, mneghasilkan produk yang berimplikasi baik teknis maupun filosofis.
Dengan demikian ilmu berkembang sesuai perkembangan peradaban manusia. Ilmu yang tidak dapat mengikuti perkembangan sejarah umat manusia, akan menjadi ilmu yang absolut. Keberadaannya akan kurang bermanfaat dan kehilangan daya guna untuk menjawab tantangan yang dihadapi manusia.
Ilmu merupakan hasil struktural dari pengamatan dan penalaran manusia dan refelksinya berubah sesuai dengan struktur-struktur dasar kebudayaan. Pola-pola dasar dalam pengamatan dan refleksi manusia berubah sejalan dengan sebuah struktur kebudayaan. Selain itu ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat azaz atau konsisten dan ungkapan-ungkapan yang sifat benarnya dapat ditentukan. Oleh karena itu, apapun yang dilaksanakan oleh sebuah ilmu ialah mengajukan pernyataan-pernyataan yang logis, sahih, dan penilaian mengenai hal-hal yang memang demikian atau tidak. Dengan perkataan lain, pernyataan ilmu harus dinilai berdasarkan tuntutannya atas kesahihan dan tidaknya berdasarkan keadaan nyata yang bersifat psikologis dan sosiologis yang pada suatu waktu tertentu didalam perkembangan sejarah merupakan kesempatan bagi tumbuhnya ilmu tertentu.
Jenis-Jenis Ilmu
Ilmu dicirikan oleh metodenya. Sebagai proses ilmu tidak akan pernah selesai. Ilmu dan hidup sehari-hari tidak pernah lepas seluruhnya satu sama lain. Ilmu memiliki kemandirian relatif dan tidak dapat berdiri sendiri sebagai sistem terpencil. Dan ilmuwan akan selalu dapat mengembangkan ilmunya lebih lanjut. Ilmu berkembang dan perkembangannya selalu mempunyai arah. Ilmu berkembang dalam suatu ruang lingkup yang netral.
Jenis ilmu dibagi menjadi dua yaitu empiris dan non-empiris. Ilmu empiris bekerja dan melakukan eksplorasi (exploration), eksplanasi (explanation), dan meramalkan (prediction) atas berbagai kejadian atau fenomena di dunia ini. Proposisi ilmiah harus dicek dengan pengalaman, dan dapat diterima sejauh ditopang secara memadai oleh adanya bukti (evidence) empiris. Bukti ini bisa diperoleh dengan eksperimentasi, observasi sistematik, wawancara, survey, uji psikologi atau klinis, penelitian dokumen, prasasti, uang logam, relik arkeologis, dan semisalnya.
Sedangkan ilmu non-empiris (logika dan matematika), tidak tergantung pada evidence dan empiris. Proposisi dibuktikan tanpa mengacu pada temuan empiris. Di zaman modern ilmu terutama mengarah kepada sekularisasi pemikiran dan pemanfaatannya demi kepentingan umum, dan ilmu juga berpengaruh kepada nilai dan norma yang menjadi dasar bagi pengambilan keputusan.
Menurut Jujun Surisumantri ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Hal ini disebabkan fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia hanya sebagai alat pembantu manusia dalam menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Ilmu diharapkan membantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah penyakit, membangun jembatan, membikin irigasi, membangkitkan tenaga listrik, mendidik anak, dan sebagainya.
Apakah kebenaran itu?
Secara etimologis, kata kebenaran dapat diartikan sebagai (1) keadaan atau hal yang cocok dengan keadaan hal yang sesungguhnya, (2) sesuatu yang sungguh-sungguh atau benar-benar ada; (3) kelurusan hatti atau kejujuran (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994; 114-115). Dari ketiga pengertian itu secara singkat dapat dinyatakan bahwa kebenaran sebagai persesuaian antara pengetahuan dengan apa yang diketahui dengan objeknya. Dengan demikian kebenaran dapat diartikan secara umum sebagai kenyataan sebagaimana adanya yang menampakkan diri sebgaimana yang ditangkap melalui pengalaman.
Ada dua macam kebenaran yaitu kebenaran biasa (common sense) dan kebenaran ilmiah yang ditemukan dalam ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya membawa implikasi terhadap perbedaan strata kebenaran.
Kebenaran biasa diperoleh manusia melalui kehidupan sehari-hari. Dengan pengetahuan itu menjadikan manusia tidak ragu-ragu dalam bertindak, karena pengetahuan itu bersifat mutlak. Misalnya air direbus pasti mendidih. Ciri penting dalam kebenaran biasa ini adalah bahwa pengetahuan ini tidak diarahkan untuk memperoleh pengetahuan mengenai hal-hal yang patut diketahui untuk memperdalam pengalaman, melainkan diarahkan untuk mendapatkan manfaat praktis. Dengan kata lain dalam pengetahuan biasa ini, pengetahuan bukanlah merupakan tujuan yang terkandung dalam dirinya sendiri, melainkan dimaksudkan agar manusia mendapatkan penyesuaian diri dengan alam sekitarnya.
Kebenaran ilmiah diaktualisasikan atau dimanifestasikan dalam pengetahuan ilmiah. Hal ini mengacu pada pengertian ilmiah yang berarti (1) bersifat ilmiah, (2) secara ilmu pengetahuan, (3) memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan ( Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994; 170). Kebenaran ilmiah timbul akibat kekaguman terhadap pengetahuan biasa. Yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian dan keraguan terhadap pengetahuan biasa teresebut. Ketidakpastian dan keraguan itu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang akan berusaha dijawab melalui serangkaian penyelidikan dalam suatu proses yang ilmiah. Dari proses ilmiah itulah akan lahir kebenaran ilmiah yang akan diwujudkan dalam ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan memenuhi beberapa syarat yaitu objektivitas, metodologis, universal, dan sistematis.